PENDEKATAN SCIENTIFIK KURIKULUM 2013
1. Mengamati
Metode
mengamati mengutamakan kebermaknaan proses pembelajaran (meaningfull learning). Metode ini memiliki keunggulan tertentu, seperti menyajikan media obyek
secara nyata, peserta didik senang dan tertantang, dan mudah pelaksanaannya.
Tentu saja kegiatan mengamati dalam rangka pembelajaran ini biasanya memerlukan
waktu persiapan yang lama dan matang, biaya dan tenaga relatif banyak, dan jika
tidak terkendali akan mengaburkan makna serta tujuan pembelajaran.
Metode
mengamati sangat bermanfaat bagi pemenuhan rasa ingin tahu peserta didik.
Sehingga proses pembelajaran memiliki kebermaknaan yang tinggi. Dengan metode
observasi peserta didik menemukan fakta bahwa ada hubungan antara obyek yang
dianalisis dengan materi pembelajaran yang digunakan oleh guru.
Kegiatan
mengamati dalam pembelajaran dilakukan dengan menempuh langkah-langkah seperti
berikut ini.
·
Menentukan objek apa yang akan
diobservasi
·
Membuat pedoman observasi sesuai
dengan lingkup objek yang akan diobservasi
·
Menentukan secara jelas
data-data apa yang perlu diobservasi, baik primer maupun sekunder
·
Menentukan di mana tempat objek
yang akan diobservasi
·
Menentukan secara jelas bagaimana
observasi akan dilakukan untuk mengumpulkan data agar berjalan mudah dan lancar
·
Menentukan cara dan melakukan
pencatatan atas hasil observasi , seperti menggunakan buku catatan, kamera,
tape recorder, video perekam, dan alat-alat tulis lainnya.
Kegiatan
observasi dalam proses pembelajaran
meniscayakan keterlibatan peserta didik secara langsung. Dalam kaitan ini, guru
harus memahami bentuk keterlibatan peserta didik dalam observasi tersebut.
·
Observasi biasa (common observation). Pada observasi
biasa untuk kepentingan pembelajaran, peserta didik merupakan subjek yang
sepenuhnya melakukan observasi (complete observer).
Di sini peserta didik sama sekali tidak melibatkan diri dengan pelaku, objek,
atau situasi yang diamati.
·
Observasi terkendali (controlled observation). Seperti halnya observasi biasa, padaobservasi
terkendali untuk kepentingan pembelajaran, peserta didiksama sekali tidak
melibatkan diri dengan pelaku, objek, atau situasi yang diamati.Merepa juga
tidak memiliki hubungan apa pun dengan pelaku, objek, atau situasi yang
diamati. Namun demikian, berbeda dengan observasi biasa, pada observasi terkendalipelaku
atau objek yang diamati ditempatkan pada
ruang atau situasi yang dikhususkan. Karena itu, pada pembelajaran dengan
observasi terkendali termuat nilai-nilai percobaan atau eksperimen atas diri pelaku atau objek yang diobservasi.
·
Observasipartisipatif (participant observation). Pada
observasipartisipatif, peserta didik melibatkan diri secara langsung dengan
pelaku atau objek yang diamati. Sejatinya, observasi semacam ini paling lazim
dilakukan dalam penelitian antropologi khususnya etnografi. Observasi semacam
ini mengharuskan peserta didik melibatkan diri pada pelaku, komunitas, atau
objek yang diamati. Di bidang pengajaran bahasa, misalnya, dengan menggunakan
pendekatan ini berarti peserta didik hadir dan “bermukim” langsung di tempat
subjek atau komunitas tertentu dan pada waktu tertentu pula untuk mempelajari bahasa atau dialek setempat,
termasuk melibakan diri secara langsung dalam situasi kehidupan mereka.
Selama
proses pembelajaran, peserta didik dapat melakukan observasi dengan dua cara pelibatan
diri. Kedua cara pelibatan dimaksud
yaitu observasi berstruktur dan observasi tidak berstruktur, seperti
dijelaskan berikut ini.
·
Observasiberstruktur. Pada observasi berstruktur dalam rangka
proses pembelajaran, fenomena subjek, objek, atau situasi apa yang ingin
diobservasi oleh peserta didik telah direncanakan oleh secara sistematis di
bawah bimbingan guru.
·
Observasitidak berstruktur. Pada
observasi yang tidak berstruktur dalam rangka proses pembelajaran, tidak
ditentukan secara baku atau rijid mengenai apa yang harus diobservasi oleh
peserta didik. Dalam kerangka ini, peserta didik membuat catatan, rekaman, atau
mengingat dalam memori secara spontan atas subjek, objektif, atau situasi yang
diobservasi.
Praktik
observasi dalam pembelajaran hanya akan efektif jika peserta didik dan guru
melengkapi diri dengan dengan alat-alat pencatatan dan alat-alat lain, seperti:
(1) tape recorder, untuk merekam pembicaraan; (1) kamera, untuk merekam objek
atau kegiatan secara visual; (2) film atau video, untuk merekam kegiatan objek
atau secara audio-visual; dan (3) alat-alat lain sesuai dengan keperluan.
Secara
lebih luas, alat atau instrumen yang digunakan dalam melakukan observasi, dapat
berupa daftar cek (checklist), skala
rentang (rating scale), catatan anekdotal
(anecdotal record), catatan berkala,
dan alat mekanikal (mechanical device).
Daftar cek dapat berupa suatu daftar yang berisikan nama-nama subjek, objek,
atau faktor- faktor yang akan diobservasi. Skala rentang , berupa alat
untuk mencatat gejala atau fenomena menurut tingkatannya. Catatan
anekdotalberupa catatan yang dibuat oleh peserta didik dan guru mengenai
kelakuan-kelakuan luar biasa yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang
diobservasi. Alat mekanikalberupa alat
mekanik yang dapat dipakai untuk memotret atau merekam peristiwa-peristiwa
tertentu yang ditampilkan oleh subjek atau objek yang diobservasi.
Prinsip-rinsip
yang harus diperhatikan oleh guru dan peserta didik selama observasi
pembelajaran disajikan berikut ini.
·
Cermat, objektif, dan jujur serta
terfokus pada objek yang diobservasi untuk kepentingan pembelajaran.
·
Banyak atau sedikit serta
homogenitas atau hiterogenitas subjek, objek, atau situasi yang diobservasi.
Makin banyak dan hiterogensubjek, objek, atau situasi yang diobservasi, makin
sulit kegiatan obervasi itu dilakukan.
Sebelum obsevasi dilaksanakan, guru dan peserta didik sebaiknya menentukan dan
menyepakati cara dan prosedur pengamatan.
·
Guru dan peserta didik perlu
memahami apa yang hendak dicatat, direkam, dan sejenisnya, serta bagaimana membuat catatan atas
perolehan observasi.
2. Menanya
Guru yang
efektif mampu menginspirasi peserta didik untuk meningkatkan dan mengembangkan
ranah sikap, keterampilan, dan pengetahuannya. Pada saat guru bertanya, pada
saat itu pula dia membimbing atau memandu peserta didiknya belajar dengan baik.
Ketika guru menjawab pertanyaan peserta didiknya, ketika itu pula dia mendorong
asuhannya itu untuk menjadi penyimak dan pembelajar yang baik.
Berbeda
dengan penugasan yang menginginkan tindakan nyara, pertanyaan dimaksudkan untuk
memperoleh tanggapan verbal. Istilah “pertanyaan” tidak selalu dalam bentuk
“kalimat tanya”, melainkan juga dapat dalam bentuk pernyataan, asalkan keduanya
menginginkan tanggapan verbal. Bentuk pertanyaan, misalnya: Apakah ciri-ciri
kalimat yang efektif? Bentuk pernyataan, misalnya: Sebutkan ciri-ciri kalimay
efektif!
a. Fungsi bertanya
·
Membangkitkan rasa ingin tahu,
minat, dan perhatian peserta didik
tentang suatu tema atau topik pembelajaran.
·
Mendorong dan menginspirasi peserta
didik untuk aktif belajar, serta mengembangkan pertanyaan dari dan untuk
dirinya sendiri.
·
Mendiagnosis kesulitan belajar
peserta didik sekaligus menyampaikan ancangan untuk mencari solusinya.
·
Menstrukturkan tugas-tugas dan
memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menunjukkan sikap,
keterampilan, dan pemahamannya atas substansi pembelajaran yang diberikan.
·
Membangkitkan keterampilan
peserta didik dalam berbicara, mengajukan pertanyaan, dan memberi jawaban
secara logis, sistematis, dan menggunakan bahasa yang baik dan benar.
·
Mendorong partisipasipeserta
didik dalam berdiskusi, berargumen, mengembangkan kemampuan berpikir, dan menarik
simpulan.
·
Membangun sikap keterbukaan untuk
saling memberi dan menerima pendapat atau gagasan, memperkaya kosa kata, serta
mengembangkan toleransi sosial dalam hidup berkelompok.
·
Membiasakan peserta didik
berpikir spontan dan cepat, serta sigap dalam merespon persoalan yang tiba-tiba
muncul.
·
Melatih kesantunan dalam
berbicara dan membangkitkan kemampuan berempati satu sama lain.
b. Kriteria pertanyaan yang baik
·
Singkat
dan jelas.
Contoh: (1) Seberapa jauh pemahaman Anda mengenai faktor-faktor yang
menyebabkan generasi muda terjerat kasus narkotika dan obat-obatan terlarang?
(2) Faktor-faktor apakah yang menyebabkan generasi muda terjerat kasus
narkotika dan obat-obatan terlarang? Pertanyaan kedua lebih singkat dan
lebih jelas dibandingkan dengan pertanyaan pertama.
·
Menginspirasi
jawaban.
Contoh: Membangun semangat kerukunan umat beragama itu sangat penting pada bangsa
yang multiagama. Jika suatu bangsa gagal membangun semangat kerukukan beragama,
akan muncul aneka persoalan sosial kemasyarakatan. Coba jelaskan dampak sosial
apa saja yang muncul, jika suatu bangsa gagal membangun kerukunan umat
beragama?Dua kalimat yang mengawali pertanyaan di muka merupakan contoh
yang diberikan guru untuk menginspirasi jawaban peserta menjawab pertanyaan.
·
Memiliki
fokus.
Contoh: Faktor-faktor apakah yang menyebabkan terjadinya kemiskinan? Untuk
pertanyaan seperti ini sebaiknya masing-masing peserta didik diminta
memunculkan satu jawaban. Peserta didik pertama hingga kelima misalnya
menjawab: kebodohan, kemalasan, tidak memiliki modal usaha, kelangkaan sumber
daya alam, dan keterisolasian geografis. Jika masih tersedia alternatif jawaban
lain, peserta didik yang keenam dan seterusnya, bisa dimintai jawaban.
Pertanyaan yang luas seperti di atas
dapat dipersempit, misalnya: Mengapa
kemalasan menjadi penyebab kemiskinan? Pertanyaan seperti ini dimintakan
jawabannya kepada peserta didik secara perorangan.
·
Bersifat
probing atau divergen.
Contoh: (1) Untuk meningkatkan kualitas hasil belajar, apakah peserta didik harus
rajin belajar?(2) Mengapa peserta didik yang sangat malas belajar cenderung
menjadi putus sekolah? Pertanyaan pertama cukup dijawab oleh peserta didik dengan Ya atau Tidak.
Sebaliknya, pertanyaan kedua menuntut jawaban yang bervariasi urutan jawaban
dan penjelasannya, yang kemungkinan memiliki bobot kebenaran yang sama.
·
Bersifat
validatif atau penguatan.
Pertanyaan dapat diajukan dengan
cara meminta kepada peserta didik yang
berbeda untuk menjawab pertanyaan yang sama. Jawaban atas pertanyaan itu dimaksudkan untuk memvalidsi atau melakukan
penguatan atas jawaban peserta didik sebelumnya. Ketika beberapa orang peserta
didik telah memberikan jawaban yang sama, sebaiknya guru menghentikan
pertanyaan itu atau meminta mereka memunculkan jawaban yang lain yang berbeda,
namun sifatnya menguatkan.
Contoh:
o
Guru: “mengapa kemalasan menjadi
penyebab kemiskinan”?
o
Peserta didik I: “karena orang
yang malas lebih banyak diam ketimbang bekerja.”
o
Guru: “siapa yang dapat
melengkapi jawaban tersebut?”
o
Peserta didik II: “karena lebih
banyak diam ketimbang bekerja, orang yang malas tidak produktif”
o
Guru : “siapa yang dapat melengkapi jawaban
tersebut?”
o
Peserta didik III: “orang malas
tidak bertindak aktif, sehingga kehilangan waktu terlalu banyak untuk bekerja,
karena itu dia tidak produktif.”
·
Memberi
kesempatan peserta didik untuk berpikir ulang.
Untuk menjawab pertanyaan dari
guru, peserta didik memerlukan waktu yang cukup untuk memikirkan jawabannya dan
memverbalkannya dengan kata-kata. Karena itu, setelah mengajukan pertanyaan,
guru hendaknya menunggu beberapa saat sebelum meminta atau menunjuk peserta
didik untuk menjawab pertanyaan itu.
Jika dengan pertanyaan tertentu
tidak ada peserta didik yang bisa menjawah dengan baik, sangat dianjurkan guru
mengubah pertanyaannya. Misalnya: (1) Apa faktor picu utama Belanda menjajah
Indonesia?; (2) Apa motif utama Belanda menjajah Indonesia? Jika dengan
pertanyaan pertama guru belum memperoleh jawaban yang memuaskan, ada baiknya
dia mengubah pertanyaan seperti pertanyaan kedua.
·
Merangsang
peningkatan tuntutan kemampuan kognitif.
Pertanyaan guru yang baik membuka
peluang peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir yang makin
meningkat, sesuai dengan tuntunan tingkat kognitifnya. Guru mengemas atau
mengubah pertanyaan yang menuntut jawaban dengan tingkat kognitif rendah ke
makin tinggi, seperti dari sekadar mengingat fakta ke pertanyaan yang menggugah
kemampuan kognitif yang lebih tinggi,
seperti pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Kata-kata kunci
pertanyaan ini, seperti: apa, mengapa, bagaimana, dan seterusnya.
·
Merangsang
proses interaksi.
Pertanyaan guru yang baik
mendorong munculnya interaksi dan suasana menyenangkan pada diri peserta
didik.Dalam kaitan ini, setelah menyampaikan pertanyaan, guru memberikan
kesempatan kepada peserta didik mendiskusikan jawabannya. Setelah itu, guru
memberi kesempatan kepada seorang atau beberapa orang peserta didik diminta
menyampaikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Pola bertanya seperti ini
memposisikan guru sebagai wahana pemantul.
c. Tingkatan Pertanyaan
Pertanyaan
guru yang baik dan benar menginspirasi peserta didik untuk memberikan jawaban
yang baik dan benar pula. Guru harus memahami kualitas pertanyaan, sehingga
menggambarkan tingkatan kognitif seperti apa yang akan disentuh, mulai dari
yang lebih rendah hingga yang lebih tinggi. Bobot pertanyaan yang menggambarkan
tingkatan kognitif yang lebih rendah hingga yang lebih tinggi disajikan berikut
ini.
Tingkatan
|
Subtingkatan
|
Kata-kata kunci pertanyaan
|
Kognitif yang lebih rendah
|
§ Pengetahuan
(knowledge)
|
§ Apa...
§ Siapa...
§ Kapan...
§ Di
mana...
§ Sebutkan...
§ Jodohkan
atau pasangkan...
§ Persamaan
kata...
§ Golongkan...
§ Berilah
nama...
§ Dll.
|
§ Pemahaman
(comprehension)
|
§
Terangkahlah...
§
Bedakanlah...
§
Terjemahkanlah...
§
Simpulkan...
§
Bandingkan...
§
Ubahlah...
§
Berikanlah interpretasi...
|
|
§ Penerapan (application
|
§
Gunakanlah...
§
Tunjukkanlah...
§
Buatlah...
§
Demonstrasikanlah...
§
Carilah hubungan...
§
Tulislah contoh...
§
Siapkanlah...
§
Klasifikasikanlah...
|
|
Kognitif yang lebih tinggi
|
§ Analisis
(analysis)
|
§
Analisislah...
§
Kemukakan bukti-bukti…
§
Mengapa…
§
Identifikasikan…
§
Tunjukkanlah sebabnya…
§
Berilah alasan-alasan…
|
§ Sintesis
(synthesis)
|
§
Ramalkanlah…
§
Bentuk…
§
Ciptakanlah…
§
Susunlah…
§
Rancanglah...
§
Tulislah…
§
Bagaimana kita dapat
memecahkan…
§
Apa yang terjadi seaindainya…
§
Bagaimana kita dapat
memperbaiki…
§
Kembangkan…
|
|
§ Evaluasi (evaluation)
|
§
Berilah pendapat…
§
Alternatif mana yang lebih
baik…
§
Setujukah anda…
§
Kritiklah…
§
Berilah alasan…
§
Nilailah…
§
Bandingkan…
§
Bedakanlah…
|
3. Menalar
a. Esensi Menalar
Istilah “menalar” dalam kerangka proses pembelajaran
dengan pendekatan ilmiah yang dianut dalam Kurikulum 2013 untuk menggambarkan
bahwa guru dan peserta didik merupakan pelaku aktif. Titik tekannya tentu dalam
banyak hal dan situasi peserta didik harus lebih aktif daripada guru. Penalaran adalah proses berfikir yang logis dan
sistematis atas fakta-kata empiris yang dapat diobservasi untuk memperoleh
simpulan berupa pengetahuan. Penalaran
dimaksud merupakan penalaran ilmiah, meski penakaran nonilmiah tidak selalu
tidak bermanfaat.
Istilah menalar di sini merupakan padanan dari associating; bukan merupakan terjemanan
dari reasonsing, meski istilah ini
juga bermakna menalar atau penalaran. Karena itu, istilah aktivitas menalar
dalam konteks pembelajaran pada Kurikulum 2013 dengan pendekatan ilmiah banyak
merujuk pada teori belajar asosiasi atau pembelajaran asosiatif. Istilah
asosiasi dalam pembelajaran merujuk pada kemamuan mengelompokkan beragam ide
dan mengasosiasikan beragam peristiwa untuk kemudian memasukannya menjadi
penggalan memori. Selama mentransfer peristiwa-peristiwa khusus ke otak,
pengalaman tersimpan dalam referensi dengan peristiwa lain.
Pengalaman-pengalaman yang sudah tersimpan di memori otak berelasi dan
berinteraksi dengan pengalaman sebelumnya yang sudah tersedia. Proses itu
dikenal sebagai asosiasi atau menalar. Dari persepektif psikologi, asosiasi
merujuk pada koneksi antara entitas konseptual atau mental sebagai hasil dari
kesamaan antara pikiran atau kedekatan
dalam ruang dan waktu.
Menurut teori asosiasi, proses pembelajaran pembelajaran
akan berhasil secara efektif jika terjadi interaksi langsung antara pendidik
dengan peserta didik. Pola ineraksi itu dilakukan melalui stimulus dan respons
(S-R). Teori ini dikembangan kerdasarkan
hasil eksperimen Thorndike, yang kemudian dikenal dengan teori asosiasi. Jadi,
prinsip dasar proses pembelajaran yang dianut oleh Thorndike adalah asosiasi,
yang juga dikenal dengan teori Stimulus-Respon (S-R). Menurut Thorndike, proses
pembelajaran, lebih khusus lagi proses belajar peserta didik terjadi secara
perlahan atau inkremental/bertahap, bukan secara tiba-tiba. Thorndike
mengemukakan berapa hukum dalam proses pembelajaran.
·
Hukum efek (The Law of Effect),
di mana intensitas hubungan antara stimulus (S) dan respon (R) selama proses
pembelajaran sangat dipengaruhi oleh konsekuensi dari hubungan yang terjadi.
Jika akibat dari hubungan S-R itu dirasa menyenangkan, maka perilaku peserta
didik akan mengalami penguatan. Sebaliknya, jika akibat hubungan S-R dirasa
tidak menyenangkan, maka perilaku peserta didik akan melemah. Menurut
Thorndike, efek dari reward (akibat yang menyenangkan) jauh lebih besar dalam
memperkuat perilaku peserta didik dibandingkan efek punishment (akibat yang
tidak menyenangkan) dalam memperlemah perilakunya. Ini bermakna bahwa reward
akan meningkatkan perilaku peserta didik, tetapi punishment belum tentu akan
mengurangi atau menghilangkan perilakunya.
·
Hukum latihan (The Law of Exercise). Awalnya, hukum ini
terdiri dari duajenis, yang setelah tahun 1930 dinyatakan dicabut oleh
Thorndike. Karena dia menyadari bahwa latihan saja tidak dapat memperkuat atau
membentuk perilaku. Pertama, Law of Use yaitu hubungan antara S-R
akan semakin kuat jika sering digunakan atau berulang-ulang. Kedua, Law of Disuse, yaitu hubungan antara S-R akan semakin melemah jika
tidak dilatih atau dilakukan berulang-ulang.Menurut Thorndike, perilaku dapat
dibentuk dengan menggunakan penguatan (reinforcement).
Memang, latihan berulang tetap dapat diberikan, tetapi yang terpenting adalah
individu menyadari konsekuensi perilakunya.
·
Hukum kesiapan (The Law of Readiness). Menurut
Thorndike, pada prinsipnya apakah sesuatu itu akan menyenangkan atau tidak
menyenangkan untuk dipelajari tergantung pada kesiapan belajar individunya.
Dalam proses pembelajaran, hal ini bermakna bahwa jika peserta dalam keadaan
siap dan belajar dilakukan, maka mereka akan merasa puas. Sebaliknya, jika
pesert didik dalam keadaan tidak siap dan belajar terpaksa dilakukan, maka
mereka akan merasa tidak puas bahkan mengalami frustrasi. Prinsip-prinsip dasar
dari Thorndike kemudian diperluas oleh B.F. Skinner dalam Operant Conditioning atau pelaziman/pengkondisian operan. Pelaziman
operan adalah bentuk pembelajaran dimana konsekuensi-konsekuensi dari perilaku
menghasilkan perubahan dalam probabilitas perilaku itu akan diulangi.
Merujuk pada teori S-R, proses pembelajaran akan makin
efektif jika peserta didik makin giat belajar. Dengan begitu, berarti makin
tinggi pula kemampuannya dalam menghubungkan S dengan R. Kaidah dasar yang
digunakan dalam teori S-R adalah:
·
Kesiapan (readiness). Kesiapan
diidentifikasi berkaitan langsung dengan motivasi peserta didik.
Kesiapan itu harus ada pada diri guru dan peserta didik. Guru harus benar-benar
siap mengajar dan peserta didik benar-benar siap menerima pelajaran dari
gurunya. Sejalan dengan itu, segala sumber daya pembelajaran pun perlu
disiapkan secara baik dan saksama.
·
Latihan (exercise). Latihan
merupakan kegiatan pembelajaran yang dilakukan secara berulang oleh peserta
didik. Pengulangan ini memungkinkan hubungan antara S dengan R makin intensif
dan ekstensif.
·
Pengaruh (effect). Hubungan yang
intensif dan berulang-ulang antara S dengan R akan meningkatkan kualitas ranah
sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta didik sebagai hasil belajarnya.
Manfaat hasil belajar yang diperoleh oleh peserta didik dirasakan langsung oleh
mereka dalam dalam dunia kehidupannya.
Kaidah atau prinsip “pengaruh” dalam pembelajaran
berkaitan dengan kemamouan guru menciptakan suasana, memberi penghargaan,
celaan, hukuman, dan ganjaran. Teori S – S ini memang terkesan robotik.
Karenanya, teori ini terkesan mengenyampingkan peranan minat, kreativitas, dan
apirasi peserta didik.
·
Oleh karena tidak semua perilaku
belajar atau pembelajaran dapat dijelaskan dengan pelaziman sebagaimana
dikembangkan oleh Ivan Pavlov, teori
asosiasi biasanya menambahkan teori belajar sosial (social learning) yang dikembangkan oleh Bandura. Menurut Bandura,
belajar terjadi karena proses peniruan (imitation).
Kemampuan peserta didik dalam meniru respons menjadi pengungkit utama aktivitas
belajarnya. Ada empat konsep dasar teori belajar sosial (social learning theory) dari Bandura.
·
Pertama, pemodelan (modelling),
dimana peserta didik belajar dengan cara meniru perilaku orang lain (guru,
teman, anggota masyarakat, dan lain-lain) dan pengalaman vicarious yaitu
belajar dari keberhasilan dan kegagalan orang lain itu.
·
Kedua, fase belajar, meliputi
fase memberi perhatian terhadap model (attentional), mengendapkan hasil
memperhatikan model dalam pikiran pebelajar (retention), menampilkan ulang
perilaku model oleh pebelajar (reproduction), dan motivasi (motivation) ketika
peserta didik berkeinginan mengulang-ulang perilaku model yang mendatangkan
konsekuensi-konsekuensi positif dari lingkungan.
·
Ketiga, belajar vicarious, dimana
peserta didik belajar dengan melihat apakah orang lain diberi ganjaran atau
hukuman selama terlibat dalam perilaku-perilaku tertentu.
·
Keempat, pengaturan-diri
(self-regulation), dimana peserta didik mengamati, mempertimbangkan, memberi
ganjaran atau hukuman terhadap perilakunya sendiri.
Teori asosiasi ini sangat efektif menjadi landasan
menanamkan sikap ilmiah dan motivasi pada peserta didik berkenaan dengan
nilai-nilai instrinsik dari pembelajaran partisipatif. Dengan cara ini peserta
didik akan melakukan peniruan terhadap apa yang nyata diobservasinya dari kinerja
guru dan temannya di kelas.
Bagaimana aplikasinya dalam proses pembelajaran? Aplikasi
pengembangan aktivitas pembelajaran untuk meningkatkan daya menalar peserta
didik dapat dilakukan dengan cara berikut ini.
·
Guru menyusun bahan pembelajaran
dalam bentuk yang sudah siap sesuai dengan tuntutan kurikulum.
·
Guru tidak banyak menerapkan
metode ceramah atau metode kuliah. Tugas utama guru adalah memberi instruksi
singkat tapi jelas dengan disertai contoh-contoh, baik dilakukan sendiri maupun
dengan cara simulasi.
·
Bahan pembelajaran disusun secara
berjenjang atau hierarkis, dimulai dari yang sederhana (persyaratan rendah)
sampai pada yang kompleks (persyaratan tinggi).
·
Kegiatan pembelajaran
berorientasi pada hasil yang dapat diukur dan diamati
·
Seriap kesalahan harus segera
dikoreksi atau diperbaiki
·
Perlu dilakukan pengulangan dan
latihan agar perilaku yang diinginkan dapat menjadi kebiasaan atau pelaziman.
·
Evaluasi atau penilaian didasari
atas perilaku yang nyata atau otentik.
·
Guru mencatat semua kemajuan
peserta didik untuk kemungkinan memberikan tindakan pembelajaran perbaikan.
b. Cara menalar
Seperti telah dijelaskan di muka, terdapat dua cara
menalar, yaitu penalaran induktif dan penalaran deduktif. Penalaran
induktif merupakan cara menalardengan menarik simpulan dari fenomena atau
atribut-atribut khusus untuk hal-hal yang bersifat umum. Jadi, menalar secara
induktif adalah proses penarikan simpulan dari kasus-kasus yang bersifat nyata
secara individual atau spesifik menjadi simpulan yang bersifat umum.Kegiatan
menalar secara induktif lebih banyak berpijak pada observasi inderawi atau
pengalaman empirik.
Contoh:
·
Singa binatang berdaun telinga,
berkembangbiak dengan cara melahirkan
·
Harimau binatang berdaun telinga,
berkembangbiak dengan cara melahirkan
·
Ikan Paus binatang berdaun
telinga berkembangbiak dengan melahirkan
·
Simpulan: Semua binatang yang
berdaun telinga berkembang biak dengan melahirkan
Penalaran deduktif merupakan cara menalar dengan
menarik simpulan dari pernyataan-pernyataan atau fenomena yang bersifat umum
menuju pada hal yang bersifat khusus. Pola penalaran deduktif dikenal dengan
pola silogisme. Cara kerja menalar secara deduktif adalah menerapkan hal-hal
yang umum terlebih dahulu untuk kemudian dihubungkan ke dalam bagian-bagiannya
yang khusus.
Ada tiga jenis silogisme, yaitu silogisme
kategorial, silogisme hipotesis, silogisme alternatif. Pada penalaran
deduktif tedapat premis, sebagai proposisi menarik simpulan. Penarikan simpulan
dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu
langsung dan tidak langsung. Simpulan secara langsung ditarik dari satu
premis,sedangkan simpulan tidak langsung ditarik dari dua premis.
Contoh :
·
Kamera adalah barang elektronik
dan membutuhkan daya listrik untuk beroperasi
·
Telepon genggam adalah barang
elektronik dan membutuhkan daya listrik untuk beroperas.
·
Simpulan: semua barang elektronik
membutuhkan daya listrik untuk beroperasi.
Analogi dalam Pembelajaran
Selama proses pembelajaran, guru dan pesert didik sering
kali menemukan fenomena yang bersifat analog atau memiliki persamaan. Dengan
demikian, guru dan peserta didik adakalamua menalar secara analogis. Analogi
adalah suatu proses penalaran dalam pembelajaran dengan cara membandingkan
sifat esensial yang mempunyai kesamaan atau persamaan.
Berpikir analogis sangat penting dalam pembelajaran,
karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Seperti halnya
penalaran, analogi terdiri dari dua jenis, yaitu analogi induktif dan analogi
deduktif. Kedua analogi itu dijelaskan berikut ini.
Analogi induktifdisusun berdasarkan persamaan yang ada
pada dua fenomena atau gejala. Atas dasar persamaan dua gejala atau fenomena
itu ditarik simpulan bahwa apa yang ada pada fenomena atau gejala pertama
terjadi juga pada fenomena atau gejala kedua. Analogi
induktif merupakan suatu ‘metode menalar’yang sangat bermanfaat untuk membuat
suatu simpulan yang dapat diterima berdasarkan pada persamaan yang terbukti
terdapat pada dua fenomena atau gejala khusus yang diperbandingkan.
Contoh:
Peserta didik Pulan merupakan pebelajar yang tekun.
Dia lulus seleksi Olimpiade Sains Tingkat Nasional tahun ini. Dengan demikian,
tahun ini juga,Peserta didik Pulan akan mengikuti kompetisi pada Olimpiade
Sains Tingkat Internasional. Untuk itu dia harus belajar lebih tekun lagi.
Analogi deklaratif merupakan suatu‘metode
menalar’untuk menjelaskan atau menegaskan sesuatu fenomena atau gejala yang
belum dikenal atau masih samar, dengan sesuatu yang sudah dikenal.Analogi deklaratif ini sangat bermanfaat karena ide-ide
baru, fenomena, atau gejala menjadi dikenal atau dapat diterima apabila
dihubungkan dengan hal-hal yang sudah dketahui secara nyata dan dipercayai.
Contoh:
Kegiatan kepeserta didikan akan berjalan baik jika
terjadi sinergitas kerja antara kepala sekolah, guru, staf tatalaksana,
pengurus organisasi peserta didik intra sekolah, dan peserta didik. Seperti
halnya kegiatan belajar, untuk mewujudkan hasil yang baik diperlukan sinergitas
antara ranah sikap, keterampilan, dan
pengetahuan.
Hubungan Antarfenonena
Seperti halnya penalaran dan analogi, kemampuan
menghubungkan antarfenomena atau gejala sangat penting dalam proses
pembelajaran, karena hal itu akan mempertajam daya nalar peserta didik. Di
sinilah esensi bahwa guru dan peserta didik dituntut mampu memaknai hubungan
antarfenonena atau gejala, khususnya hubungan sebab-akibat.
Hubungan sebab-akibat diambil dengan menghubungkan satu
atau beberapa fakta yang satu dengan datu atau beberapa fakta yang lain.Suatu
simpulan yang menjadi sebab dari satu atau beberapa fakta itu atau dapat juga
menjadi akibat dari satuatau beberapa fakta tersebut.
Penalaran sebab-akibat ini masuk dalam ranah penalaran
induktif, yang disebut dengan penalaran induktif sebab-akibat. Penalaran
induksi sebab akibat terdiri dri tiga jenis.
·
Hubungan sebab–akibat. Pada
penalaran hubungan sebab-akibat, hal-hal yang menjadi sebab dikemukakan
terlebih dahulu, kemudian ditarik simpulan yang berupa akibat.
Contoh:
Bekerja keras, belajar tekun,
berdoa, dan tidak putus asa adalah faktor pengungkit yang bisa membuat kita mencapai puncak kesuksesan.
·
Hubungan akibat–sebab. Pada
penalaran hubungan akibat-sebab, hal-hal yang menjadi akibat dikemukakan
terlebih dahulu, selanjutnya ditarik simpulan yang merupakan penyebabnya.
Contoh :
Akhir-ahir ini sangat marak
kenakalan remaja, angka putus sekolah, penyalahgunaan Nakoba di kalangan
generasi muda, perkelahian antarpeserta didik, yang disebabkan oleh pengabaian
orang tua dan ketidaan keteladanan tokoh masyarakat, sehingga mengalami dekandensi
moral secara massal.
·
Hubungan sebab–akibat 1 – akibat
2. Pada penalaran hubungan sbab-akibat 1 –akibat 2, suatu penyebab dapat menimbulkan serangkaian
akibat. Akibat yang pertama menjadi penyebab, sehingga menimbulkan akibat
kedua. Akibat kedua menjadi penyebab sehingga menimbulkan akibat ketiga, dan
seterusnya.
Contoh:
Masyarakat yang tinggal di daerah
terpencil, hidupnya terisolasi. Keterisolasian itu menyebabkan mereka
kehilangan akses untuk melakukan aktivitas ekonomi, sehingga muncullah kemiskinan
keluarga yang akut. Kemiskinan keluarga yang akut menyebabkan anak-anak mereka
tidak berkesempatan menempuh pendidikan yang baik. Dampak lanjutannya, bukan
tidak mungkin terjadi kemiskinan yang terus berlangsung secara siklikal.
4. Mencoba
Untuk memperoleh hasil belajar
yang nyata atau otentik, peserta didik harus mencoba atau melakukan percobaan,
terutama untuk materi atau substansi yang sesuai. Pada mata pelajaran IPA,
misalnya,peserta didik harus memahami konsep-konsep IPA dan kaitannya dengan
kehidupan sehari-hari. Peserta didik pun harus memiliki keterampilan proses
untuk mengembangkan pengetahuan tentang alam sekitar, serta mampu menggunakan
metode ilmiah dan bersikap ilmiah untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya sehari-hari.
Aplikasi metode eksperimen atau
mencoba dimaksudkan untuk mengembangkan berbagai ranah tujuan belajar, yaitu
sikap, keterampilan, dan pengetahuan. Aktivitas pembelajaran yang nyata untuk
ini adalah: (1) menentukan tema atau topik sesuai dengan kompetensi dasar menurut
tuntutan kurikulum; (2) mempelajari cara-cara penggunaan alat dan bahan yang
tersedia dan harus disediakan; (3)mempelajari dasar teoritis yang relevan dan
hasil-hasil eksperimen sebelumnya; (4) melakukan dan mengamati percobaan; (5)
mencatat fenomena yang terjadi, menganalisis, dan menyajikan data;(6) menarik
simpulan atas hasil percobaan; dan (7)membuat laporan dan mengkomunikasikan
hasil percobaan.
Agar
pelaksanaan percobaan dapat berjalan lancar maka: (1) Guru hendaknya
merumuskan tujuan eksperimen yanga akan dilaksanakan murid (2) Guru bersama
murid mempersiapkan perlengkapan yang dipergunakan (3) Perlu memperhitungkan
tempat dan waktu (4) Guru menyediakan kertas kerja untuk pengarahan kegiatan
murid (5) Guru membicarakan masalah yanga akan yang akan dijadikan eksperimen
(6) Membagi kertas kerja kepada murid (7) Murid melaksanakan eksperimen dengan
bimbingan guru, dan (8) Guru mengumpulkan hasil kerja murid dan mengevaluasinya,
bila dianggap perlu didiskusikan secara klasikal.
Kegiatan
pembelajaran dengan pendekatan eksperimen atau mencoba dilakukan melalui tiga
tahap, yaitu, persiapan, pelaksanaan, dan tindak lanjut. Ketiga tahapan
eksperimen atau mencoba dimaksud dijelaskan berikut ini.
a. Persiapan
·
Menentapkan
tujuan eksperimen
·
Mempersiapkan
alat atau bahan
·
Mempersiapkan
tempat eksperimen sesuai dengan jumlah peserta
didikserta alat atau
bahan yang tersedia. Di sini guru perlu
menimbang apakah peserta didik akan melaksanakan eksperimen atau mencoba
secara serentak atau dibagi menjadi beberapa kelompok secara paralel atau
bergiliran
·
Memertimbangkanmasalah keamanan dan kesehatan agar dapat
memperkecil atau menghindari risiko yang mungkin timbul
·
Memberikan penjelasan mengenai apa yang harus diperhatikan dan
tahapa-tahapan yang harus dilakukan peserta didik, termasuk hal-hal
yang dilarang atau
membahayakan.
b. Pelaksanaan
·
Selama proses eksperimen atau
mencoba, guru ikut membimbing dan mengamati proses percobaan. Di sini guru harus memberikan dorongan dan bantuan
terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh
peserta didik agar kegiatan itu berhasil dengan baik.
·
Selama proses eksperimen atau mencoba, guru
hendaknya memperhatikan situasi secara keseluruhan,
termasuk membantu mengatasi dan memecahkan masalah-masalah yang akan menghambat
kegiatan pembelajaran.
c. Tindak lanjut
·
Peserta
didik mengumpulkan laporan hasil eksperimen kepada guru
·
Guru
memeriksa hasil eksperimen peserta didik
·
Guru
memberikan umpan balik kepada peserta didik atas hasil eksperimen.
·
Guru dan
peserta didik mendiskusikan masalah-masalah yang ditemukan selama eksperimen.
·
Guru dan peserta didik memeriksa
dan menyimpan kembali segala bahan dan alat yang digunakan
5. Jejaring Pembelajaran atau Pembelajaran Kolaboratif
Apa yang dimaksud dengan
pembelajaran kolaboratif? Pembelajaran kolaboratif merupakan suatu filsafat
personal, lebih dari sekadar sekadar teknik pembelajaran di kelas-kelas
sekolah. Kolaborasi esensinya merupakan filsafat interaksi dan gaya hidup
manusia yang menempatkan dan memaknai kerjasama sebagai struktur interaksi yang
dirancang secara baik dan disengaja rupa untuk memudahkan usaha kolektif dalam
rangka mencapai tujuan bersama.
Pada pembelajaran kolaboratif
kewenangan guru fungsi guru lebih bersifat direktif atau manajer belajar,
sebaliknya, peserta didiklah yang harus lebih aktif. Jika pembelajaran kolaboratif diposisikan sebagai
satu falsafah peribadi, maka ia menyentuh tentang identitas peserta didik
terutama jika mereka berhubungan atau berinteraksi dengan yang lain atau guru.
Dalam situasi kolaboratif itu, peserta didik berinteraksi dengan empati, saling
menghormati, dan menerima kekurangan atau kelebihan masing-masing. Dengan cara
semacam ini akan tumbuh rasa aman, sehingga memungkin peserta didik menghadapi
aneka perubahan dan tntutan belajar secara bersama-sama.
Hasil penelitian Vygotsky
membuktikan bahwa ketika peserta didik diberi tugas untuk dirinya sediri,
mereka akan bekerja sebaik-baiknya ketika bekerjasama atau berkolaborasi dengan
temannya. Vigotsky merupakan salah satu pengagas teori konstruktivisme sosial.
Pakar ini sangat terkenal dengan teori “Zone of Proximal Development” atau
ZPD. Istilah ”Proximal” yang digunakan di sini bisa bermakna “next“.
Menurut Vygotsky, setiap manusia (dalam
konteks ini disebut peserta didik) mempunyai potensi tertentu. Potensi tersebut
dapat teraktualisasi dengan cara menerapkan ketuntasan belajar (mastery
learning). Akan tetapi di antara potensi
dan aktualisasi peserta didik itu terdapat terdapat wilayah abu-abu. Guru
memiliki berkewajiban menjadikan wilayah “abu-abu”yang ada pada peserta didik
itu dapat teraktualisasi dengan cara belajar kelompok.
Seperti termuat dalam gambar,
Vygostsky mengemukakan tiga wilayah yang
tergamit dalam ZPD yang disebut dengan “cannot yet do”, “can
do with help“, dan “can do alone“. ZPD merupakan
wilayah “can do with help”yang sifatnya tidak permanen, jika
proses pembelajaran mampu menarik pebelajar dari zona tersebut dengan cara
kolaborasi atau pembelajaran kolaboratif.
Ada empat sifat kelas atau
pembelajaran kolaboratif. Dua sifatberkenaan dengan perubahan
hubungan antara guru dan peserta didik. Sifat ketiga berkaitan dengan
pendekatan baru dari penyampaian guru selama proses pembelajaran. Sifat keempat
menyatakan isi kelas atau pembelajaran kolaboratif.
1. Guru dan peserta didik saling berbagi informasi.
Dengan pembelajaran
kolaboratif, peserta didik memiliki ruang gerak untuk
menilai dan membina ilmu pengetahuan, pengalaman personal, bahasa
komunikasi, strategi dan konsep pembelajaran sesuai dengan teori, serta
menautkan kondisi sosiobudaya dengan situasi pembelajaran. Di sini, peran guru
lebih banyak sebagai pembimbing dan manajer belajar ketimbang memberi instruksi
dan mengawasi secara rijid.
Contoh:
Jika guru mengajarkan topik
“hidup bersama secara damai.” Peserta didik yang mempunyai pengalaman yang
berkaitan dengan topik tersebut berpeluang menyatakan sesuatu pada sesi
pembelajaran, berbagi idea, dan memberi garis-garis besar arus komunikasi
antar peserta didik. Jika peserta didikmemahami dan melihat fenomena nyata
kehidupan bersama yang damai itu, pengalaman dan pengetahuannya dihargai dan
dapat dibagikan dalam jaringan pembelajaran mereka. Mereka pun akan termotivasi
untuk melihat dan mendengar. Di sini peserta didik juga dapat merumuskan kaitan
antara proses pembelajaran yang sedang dilakukan dengan dunia sebenarnya.
2. Berbagi tugas dan kewenangan.
Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif, guru berbagi
tugas dan kewenangan dengan peserta didik, khususnya untuk hal-hal tertentu.
Cara ini memungkinan peserta didik menimba pengalaman mereka sendiri,
berbagi strategi dan informasi, menghormati antarsesa, mendoorong tumbuhnya
ide-ide cerdas, terlibat dalam pemikiran kreatif dan kritis serta memupuk dan
menggalakkan mereka mengambil peran secara terbuka dan bermakna.
·
Guru sebagai mediator.
Pada pembelajaran atau kelas kolaboratif,
guru berperan sebagai mediator atau perantara. Guru berperan membantu
menghubungkan informasi baru dengan pengalaman yang ada serta membantu
peserta didik jika mereka mengalami kebutuan dan bersedia menunjukkan cara
bagaimana mereka memiliki kesungguhan untuk belajar.
·
Kelompok peserta didik yang heterogen.
Sikap, keterampilan, dan pengetahuan peserta
didk yang tumbuh dan berkembang sangatpenting untuk memperkaya
pembelajaran di kelas. Pada kelas kolaboratif peserta didikdapat
menunjukkan kemampuan dan keterampilan mereka, berbagi informasi,serta
mendengar atau membahas sumbangan informasi dari peserta didik lainnya. Dengan
cara seperti ini akan muncul “keseragaman” di dalam heterogenitas peserta
didik.
Guru ingin mengajarkan tentang konsep, penggolongan
sifat, fakta, atau mengulangi informasi tentang objek. Untuk keperluan
pembelajaran ini dia menggunakan media sortir kartu (card
sort). Prosedurnya dapat dilakukan seperti berikut ini.
- Kepada peserta didik diberikan kartu indeks yang memuat informasi atau contoh yang cocok dengan satu atau lebih katagori.
- Peserta didik diminta untuk mencari temannya dan menemukan orang yang memiliki kartu dengan katagori yang sama.
- Berikan kepada peserta didik yang kartu katagorinya sama menyajikan sendiri kepada rekanhya.
- Selama masing-masing katagori dipresentasikan oleh peserta didik, buatlah catatan dengan kata kunci (point) dari pembelajaran tersebut yang dirasakan penting.
3. Macam-macam Pembelajaran Kolaboratif
Banyak merode yang dipakai dalam
pembelajaran atau kelas kolaboratif. Beberapa di antaranya dijelaskan berikut
ini.
·
JP = Jigsaw Proscedure.
Pembelajaran dilakukan dengan cara peserta didik sebagai
anggota suatu kelompok diberi tugas yang berbeda-beda mengenai suatu pokok
bahasan. Agar masing-masing peserta didik anggota dapat memahami keseluruhan
pokok bahasan, tes diberikan dengan materi yang menyeluruh. Penilaian didasari pada rata-rata skor tes kelompok.
·
STAD = Student Team Achievement Divisions.
Peserta didik dalam suatu kelas dibagi menjadi beberapa
kelompok kecil. Anggota-anggota dalam setiap kelompok bertindak saling
membelajarkan. Fokusnya adalah keberhasilan seorang akan berpengaruh terhadap
keberhasilan kelompok dan demikian pula keberhasilan kelompok akan berpengaruh
terhadap keberhasilan individu peserta didik lainnya. Penilaian didasari pada
pencapaian hasil belajar individual maupun kelompok peserta didik.
·
CI = Complex Instruction.
Titik tekan metode ini
adalam pelaksanaan suatu proyek yang berorientasi pada penemuan,
khususnya dalam bidang sains, matematika, dan ilmu pengetahuan sosial. Fokusnya
adalah menumbuhkembangkan ketertarikan semua peserta didiksebagai anggota
kelompok terhadap pokok bahasan. Metode ini umumnya digunakan dalam
pembelajaran yang bersifat bilingual (menggunakan dua bahasa)
dan di antara para peserta didik yang sangat heterogen. Penilaian didasari pada
proses dan hasil kerja kelompok.
·
TAI = Team Accelerated Instruction.
Metodeini merupakan kombinasi antara pembelajaran
kooperatif/kolaboratif dengan pembelajaran individual. Secara bertahap, setiap
peserta didik sebagai anggota kelompok diberi soal-soal yang harus mereka
kerjakan sendiri terlebih dulu. Setelah itu dilaksanakan penilaian bersama-sama
dalam kelompok. Jika soal tahap pertama telah diselesaikan dengan benar, setiap
peserta didik mengerjakan soal-soal berikutnya. Namun jika seorang peserta
didik belum dapat menyelesaikan soal tahap pertama dengan benar, ia harus
menyelesaikan soal lain pada tahap yang sama. Setiap tahapan soal disusun
berdasarkan tingkat kesukaran soal. Penilaian didasari pada hasil belajar
individual maupun kelompok.
·
CLS = Cooperative Learning Stuctures.
Pada penerapan metode pembelajaran ini setiap kelompok
dibentuk dengan anggota dua peserta didik (berpasangan). Seorang peserta didik
bertindak sebagai tutor dan yang lain menjadi tutee.
Tutor
mengajukan pertanyaan yang harus dijawab oleh tutee. Bila
jawaban tutee benar, ia memperoleh poin atau skor yang telah
ditetapkan terlebih dulu. Dalam selang waktu yang juga telah ditetapkan
sebelumnya, kedua peserta didik yang saling berpasangan itu berganti peran.
·
LT = Learning Together
Pada metode ini kelompok-kelompok sekelas beranggotakan
peserta didik yang beragam kemampuannya. Tiap kelompok bekerjasama untuk
menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru. Satu kelompok hanya menerima dan
mengerjakan satu set lembar tugas. Penilaian didasarkan pada hasil kerja
kelompok.
·
TGT = Teams-Games-Tournament.
Pada metode ini, setelah belajar bersama kelompoknya
sendiri, para anggota suatu kelompok akan berlomba dengan anggota kelompok lain
sesuai dengan tingkat kemampuan masing-masing. Penilaian didasari pada jumlah
nilai yang diperoleh kelompok peserta didik.
·
GI = Group Investigation.
Pada metode ini semua anggota kelompok dituntut untuk
merencanakan suatu penelitian beserta perencanaan pemecahan masalah yang
dihadapi. Kelompok menentukan apa saja yang akan dikerjakan dan siapa saja yang
akan melaksanakannya berikut bagaimana perencanaan penyajiannya di depan forum
kelas. Penilaian didasari pada proses dan hasil kerja kelompok.
·
AC = Academic-Constructive Controversy.
Pada metode ini setiap anggota kelompok dituntut
kemampuannya untuk berada dalam situasi konflik intelektual yang dikembangkan
berdasarkan hasil belajar masing-masing, baik bersama anggota sekelompok maupun
dengan anggota kelompok lain. Kegiatan pembelajaran ini mengutamakan pencapaian
dan pengembangan kualitas pemecahan masalah, pemikiran kritis, pertimbangan,
hubungan antarpribadi, kesehatan psikis dan keselarasan. Penilaian didasarkan
pada kemampuan setiap anggota maupun kelompok mempertahankan posisi yang
dipilihnya.
·
CIRC = Cooperative Integrated Reading and Composition.
Pada metode pembelajaran ini mirip dengan TAI. Metode
pembelajaran ini menekankan pembelajaran membaca, menulis dan tata bahasa.
Dalam pembelajaran ini, para peserta didik saling menilai kemampuan membaca,
menulis dan tata bahasa, baik secara tertulis maupun lisan di dalam
kelompoknya.
a. Pemanfaatan Internet
Pemanfaatan internet sangat
dianjurkan dalam pembelajaran atau kelas kolaboratif. Karena memang, internet merupakan salah satu
jejaring pembelajaran dengan akses dan ketersediaan informasi yang luas dan
mudah. Saat ini internet telah
menyediakan diri sebagai referensi yang murah dan mudah bagi peserta didik atau
siapa saja yang hendak mengubah wajah dunia.
Penggunaan internet disarakan
makin mendesak sejalan denan perkembangan pengetahuan terjadi secara
eksponensial. Masa depan adalah milik peserta didik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar