Filsafat Penelitian Positivisme
Paham
positivisme dipelopori oleh Auguste
Comte. Ditinjau dari sejarah filsafat, filsafat positivisme merupakan
bagian dari filsafat abad moderen. Filsafat pada masa ini muncul sebagai wujud
protes terhadap doktrin yang tanpa dilandasi observasi.
Terdapat
beberapa filosuf abad moderen yang mendukung adanya pemrotesan terhadap doktrin
yang tanpa dilandasi observasi.
1.
Galileo Galilei
Galileo Galilei menemukan teropong bintang dan
membuktikan teorinya yanng menerangkan bahwa pusat tata surya adalah matahari,
bukan sebagaimana berabad-abad yang menjadi doktrin bahwa bumilah yang menjadi
pusat tata surya.
Pandangan Galilei didominasi oleh pemikiran yang sangat
empiris yang menyandarkan kebenaran kepada pengalaman yang dapat diobservasi.
2.
Thomas Hobbes
Hobbes menyatakan segala yang ada ditentukan oleh sebab,
sedangkan prosesnya sesuai dengan hukum alam.
3.
John Locke
Menurut Locke, tiap pengetahuan yang diperoleh manusia
terdiri dari sensasi (berhubungan dengan dunia luar) dan refleksi (pengenalan
intuitif).
4.
David Hume
Menurut Hume, semua pengalaman adalah akibat dari
interaksi seseorang dengan lingkungan. Sumber pengetahuan adalah empiris.
Pengetahuan yang bermanfaat, pasti, dan benar hanya diperoleh lewat indera
(Achmadi, 1995 : 9).
Dalam
pandangan filsafatnya, Comte membagi
tahap perkembangan pengetahuan manusia secara berurutan menjadi tiga, yaitu:
1.
Teologis
Pengetahuan manusia dihubungkan dengan kepercayaan roh
dan dewa-dewa.
2.
Metafisik
Pengetahuan sudah dihubungkan dengan realitas namun belum
dilakukan verifikasi.
3.
Positif
Pengetahuan hanya benar bila teruji dalam verifikasi.
Menurut Comte pengetahuan yang benar haruslah
positif. Pengetahuan positif bebas dari jangkauan nilai dan prasangka
penafsiran, objektif, dan terbuka untuk selalu diuji.
Positivisme
Positivisme
adalah positif. Positif adalah segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas
pengalaman-pengalaman objektif. Paham
filsafat positivisme menganjurkan bahwa pengetahuan haruslah positif.
Pengetahuan yang positif adalah pengetahuan yang objektif serta bebas dari
nilai, prasangka, dan subjektivitas.
Filsafat positivisme menjunjung tinggi objektivitas dan menganggapnya sebagai
salah satu persyaratan dasar pengetahuan yang benar. Kebenaran harus bersifat
objektif dan universal.
Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kebenaran positif mempunyai bebrapa
unsur sebagai berikut.
1.
Objektif
Objektif artinya kesesuaian pengetahuan dengan objeknya.
2.
Positif
Kebenaran merupakan kenyataan faktual yang dapat
diobservasi. Kebenaran tampak dari penampilan.
3.
Verifikasi
Verifikasi adalah pengukuhan dengan fakta empirik.
Menurut Carnap (Delfgauw, 1998 : 120), tidak ada gunanya mengajukan pertanyaan
metafisik sebab jawabannya tidak dapat dikatakan benar atau tidak benar,
melainkan semata-mata tidak mengandung makna.[1]
Pendekatan
Positivisme dalam Penelitian
Gejala alam maupun
gejala sosial adalah objek penelitian yang penting dikaji manusia untuk
memperoleh manfaat seluas-luasnya. Lebih jauh lagi, kenyataan di sekeliling
manusia bisa diformulasikan menjadi ilmu pengetahuan yang jelas dan terukur.
Untuk memperolah nilai kebermanfaatan, manusia melakukan pendekatan terhadap
alam dan lingkungan sosialnya. Sehingga manusia lebih memahami dan mengetahui
aturan dan hukum-hukum pada lingkungannya.
Positivistik bisa
menjalankan peran pendekatan ilmiah pada gejala lingkungan untuk diformulasikan
menjadi pengetahuan yang bemakna. Pengetahuan modern mengharuskan adanya
kepastian dalam suatu kebenaran. Sehingga, sebuah fakta dan gejala dapat
dikumpulkan secara sistematis dan terencana harus mengikuti asas yang terukur, terobservasi dan diverifikasi.
Dengan begini, pengetahuan menjadi bermakna dan sah menurut tata cara
positivistik.
Positivistik sendiri sebenarnya merupakan sebuah paham penelitian. Istilah
ini juga merujuk pada sudut pandang tertentu, sehingga boleh disebut sebagai pendekatan. Paham penelitian positivistik berbau
statistik dan biasanya menolak pemahaman metafisik dan teologis. Bahkan, paham
positivistik sering menganggap bahwa pemahaman metafisik dan teologis terlalu
primitif dan kurang rasional. Artinya, kebenaran metafisik dan teologis
dianggap ringan dan kurang teruji. Singkat kata, positivistik lebih berusaha ke
arah mencari fakta atau sebab-sebab terjadinya fenomena secara objektif,
terlepas dari pandangan pribadi yang bersifat subjektif.
Tujuan penelitian dengan pendekatan positivisme adalah menjelaskan yang
pada akhirnya memungkinkan untuk memprediksi dan mengendalikan fenomena,
benda-benda fisik atau manusia. Kriteria kemajuan puncak dalam paradigma ini
adalah bahwa kemampuan “ilmuwan” untuk memprediksi dan mengendalikan (fenomena)
seharusnya berkembang dari waktu ke waktu. Perlu dicermati reduksionisme dan
determinisme yang diisyaratkan dalam posisi ini. Peneliti terseret ke dalam
peran “ahli”, sebuah situasi yang tampaknya memberikan hak istimewa khusus,
namun boleh jadi justru tidak layak, bagi seorang peneliti.
Positivistik lebih menekankan pembahasan singkat, dan menolak pembahasan
yang penuh diskripsi cerita. Peneliti yang akan menggunakan positivistik, harus
berani membangun teori-teori atau konsep dasar, kemudian disesuaikan dengan
kondisi lapangan. Peneliti lebih banyak berpikir induktif, agar menghasilkan
verifikasi sebuah fenomena. Penelitian positivistik menuntut pemisahan antara
subyek peneliti dan obyek penelitian sehingga diperoleh hasil yang obyektif.
Kebenaran diperoleh melalui hukum kausal dan korespondensi antar variabel yang
diteliti. Karenanya, menurut paham ini, realitas juga dapat dikontrol dengan
variabel lain. Biasanya peneliti juga menampilkan hipotesis berupa prediksi
awal setelah membangun teori secara handal.
Suatu penelitian yang memiliki
dasar positivistik memiliki ciri-ciri sebagai berikut.
1.
Menekankan objektivitas secara
universal dan tidak dipengaruhi oleh ruang dan waktu.
2.
Menginterpretasi variabel yang
ada melalui peraturan kuantitas atau angka.
3.
Memisahkan peneliti dengan objek
yang hendak diteliti. Membuat jarak antara peneliti dan yang diteliti,
dimaksudkan agar tidak ada pengaruh atau kontaminasi terhadap variabel yang
hendak diteliti.
4.
Menekankan penggunaan metode
statistik untuk mencari jawaban permasalahan yang hendak diteliti.
Pendekatan
Kuantitatif dengan Pendekatan Positivisme
Penelitian
kuantitatif adalah penelitian ilmiah yang sistematis terhadap bagian-bagian dan
fenomena serta hubungan-hubungannya. Tujuan penelitian kuantitatif adalah
mengembangkan dan menggunakan model-model matematis, teori-teori dan/atau
hipotesis yang berkaitan dengan fenomena alam. Proses pengukuran adalah bagian
yang sentral dalam penelitian kuantitatif karena hal ini memberikan hubungan
yang fundamental antara pengamatan empiris dan ekspresi matematis dari
hubungan-hubungan kuantitatif. Penelitian kuantitatif banyak dipergunakan baik
dalam ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial, dari fisika dan biologi hingga
sosiologi dan jurnalisme.
Menurut positivisme,
ilmu yang valid adalah ilmu yang dibangun dari empirik. Dengan pendekatan
positivisme dalam metodologi penelitian kuantitatif, menuntut adanya rancangan
penelitian yang menspesifikkan objeknya secara eksplisit, dipisahkan dari
objek-objek lain yang tidak diteliti. Metode penelitian kuantitatif merupakan pendekatan penelitian yang mewakili
paham positivistik. Metodologi penelitian kuantitatif mempunyai batasan-batasan
pemikiran yaitu: korelasi, kausalitas, dan interaktif; sedangkan objek data,
ditata dalam tata pikir kategorisasi, interfalisasik dan kontinuasi.
(Muhadjir,2008 : 12).
Penelitian
kuantitatif menggunakan alur pemikiran positivisme untuk mengkaji hal-hal yang
ditemui di lapangan, tentunya sebelum melakukan penelitian maka kasus atau
masalah yang akan diteliti sudah terlebih dahulu digolongkan masuk ke
kuantitatif atau kualitatif, sehingga
dalam proses selanjutnya peneliti tingggal melakukan riset dengan mengedepankan
alur pemikiran yang tepat.
Acuan filosofik dasar metodologi penelitian
positivistik kuantitatif adalah sebagai berikut:
1. Acuan hasil penelitian terdahulu
Sesuai
dengan filsafat ilmunya, positivisme tunduk kepada bukti kebenaran empirik,
maka sumber pustaka yang perlu dicari adalah “bukti empirik hasil-hasil
penelitian terdahulu”.
2. Analisis, sintesis dan refleksi
Metodologi
positivistik menuntut dipilahnya analisis dari sintesis. Dituntut data
dikumpulkan, dianalisis, barulah dibuat kesimpulan atau sintesis.
3. Fakta objektif
a. Variabel
Dalam penelitian positivistik
kebenaran dicari dengan mencari hubungan relevan antara unit terkecil jenis
satu dengan unit terkecil jenis lain.
b. Eliminasi
data
Cara berfikir positivistik
adalah meneliti sejumlah variabel dan mengeliminasi variabel yang tidak teliti.
c. Uji
reliabilitas, validitas instrument dan validitas butir
Penelitian positivistik menuntut
data obyektif. Obyektif dalam paradigma kuantitatif diwujudkan dalm uji
kualitas instrumennya yang disebut uji reliabilitas dan validitas instrumennya.
Dari uji validitas instrumen tersebut berarti instrumen tersebut dapat dipakai
untuk mengumpulkan data yang obyektif. Kualitas instrumen lebih tinggi lagi
dapat diuji lebih lanjut lewat uji validitas setiap soalnya atau uji validitas
butirnya. Uji validitas butir diuji daya diskriminasi dan tingkat kesukarannya.
4.
Argumentasi
a. Fungsi
parameter
Sejumlah variabel diuji
pengaruhnya dengan teknik uji relevansi atau korespondensi antar sejumlah
variabel. Uji korespondensi hanya membuktikan hubungan paralel antar banyak
variabel (bukan sebab-akibat).
b. Populasi
Subyek penelitian adalah subyek
pendukung data, subyek yang memiliki data yang diteliti.
c. Wilayah
atau penelitian
Membahas lingkungan yang memberi
gambaran latar belakang atau suatu lingkungan khusus yang dapat memberi warna
lain pada populasi yang sama.
5.
Realitas
a. Desain
standar
Kerangka berfikir hubungan
variabel-variabelnya harus jelas, dirancang hipotesis yang dibuktikan termasuk
dirancang instrumen pengumpulan datanya yang teruji validitas instrumennya dan
juga validitas butir soalnya dan dirancang teknik analisis.
b. Uji
kebenaran
Realitas dalam paradigma
kuantitatif obyektif adalah kebenaran sesuai signifikansi statistik dan
pemaknaannya juga sebatas teknik uji yang digunakan. Unsur-unsur data untuk uji kebenaran menyangkut melihat antara
lain jumlah subyeknya, jenis datanya, distribusi datanya, mean, simpangan
bakunya dan teknik uji korelasinya.
Realitas atau kebenaran yang diakui dalam positivistik sebatas obyek yang
diteliti dan seluas populasi penelitiannya dan dijamin oleh teknik pengumpulan
data, teknik analisis, dan penetapan populasi.
Kritik
Positivisme
Kritik paling umum yang dibuat dan diterima di kalangan ilmuwan sosial
adalah kritik seputar perluasan metode-metode ilmiah dalam wilayah
kehidupan sosial manusia. Kelompok anti positivis yang menggunakan garis
argumen ini menegaskan bahwa antara kehidupan sosial manusia dan fakta alam
yang menjadi pokok kajian ilmu-ilmu alam terdapat perbedaan mendasar.
Perbedaannya adalah bahwa tingkah laku manusia tidak dapata diramalakan
(unpredictable) yang disebabkan oleh tiga faktor:
1. Kehendak bebas manusia yang unik
2. Karakter hidup sosial yang tunduk aturan dan bukan tunduk
hukum