MENUMBUHKAN SEMANGAT KERJA SAMA DI SEKOLAH
Submitted by admin on Tue, 08/13/2013 - 15:53
MENUMBUHKAN SEMANGAT KERJA SAMA DI SEKOLAH
OLEH
AMAS SUTIANA*)
AMAS SUTIANA*)
A. Latar Belakang
Kepala Sekolah satuan pendidikan memiliki peran dan fungsi strategis dalam mendorong kemajuan sekolah-sekolah yang menjadi binaannya. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, mereka dapat membe- rikan inspirasi dan mendorong para kepala sekolah, guru serta tenaga kependidikan lainnya untuk terus mengembangkan profesionalisme dan meningkatkan kinerja mereka. Bagi kepala sekolah, Kepala Sekolah layaknya mitra tempat berbagi serta konsultan tempat meminta saran dan pendapat dalam pengelolaan sekolah. Sementara itu bagi guru, Kepala Sekolah selayaknya menjadi ”gurunya guru” dalam memecahkan problema dan meningkatkan kualitas pembelajaran.
Kepala Sekolah satuan pendidikan memiliki peran dan fungsi strategis dalam mendorong kemajuan sekolah-sekolah yang menjadi binaannya. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, mereka dapat membe- rikan inspirasi dan mendorong para kepala sekolah, guru serta tenaga kependidikan lainnya untuk terus mengembangkan profesionalisme dan meningkatkan kinerja mereka. Bagi kepala sekolah, Kepala Sekolah layaknya mitra tempat berbagi serta konsultan tempat meminta saran dan pendapat dalam pengelolaan sekolah. Sementara itu bagi guru, Kepala Sekolah selayaknya menjadi ”gurunya guru” dalam memecahkan problema dan meningkatkan kualitas pembelajaran.
Untuk dapat menjalankan peran dan fungsi tersebut,
Kepala Sekolah dituntut memiliki kompetensi sosial, khususnya dalam
menjalin kerja sama dengan para kepala sekolah, guru dan stakeholder
lainnya. Hal ini karena dalam bekerja Kepala Sekolah mesti bertemu
banyak orang dengan berbagai latar belakang, kondisi serta persoalan
yang dihadapi. Mereka juga harus mampu bekerja sama baik dengan individu
maupun kelompok.
Untuk membina kemampuan bekerjasama, dalam tulisan
ini akan dibahas tentang pengertian, kedudukan dan manfaat bekerjasama;
menum- buhkan kerjasama di lingkungan sekolah, pemberdayaan sekolah
melalui kerjasama, peranan Kepala Sekolah dalam penguatan kerjasama
eksternal, dan kerjasama untuk peningkatan mutu pendidikan.
KERJA SAMA DALAM ORGANISASI SEKOLAH
A. Pengertian, Kedudukan dan Fungsi Kerjasama
Kerja sama merupakan salah satu fitrah manusia sebagai mahluk sosial. Kerja sama memiliki dimensi yang sangat luas dalam kehidupan manusia, baik terkait tujuan positif maupun negatif. Dalam hal apa, bagaima- na, kapan dan di mana seseorang harus bekerjasama dengan orang lain tergantung pada kompleksitas dan tingkat kemajuan peradaban orang terse- but. Semakin modern seseorang, maka ia akan semakin banyak bekerja sama dengan orang lain, bahkan seakan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu tentunya dengan bantuan perangkat teknologi yang modern pula.
A. Pengertian, Kedudukan dan Fungsi Kerjasama
Kerja sama merupakan salah satu fitrah manusia sebagai mahluk sosial. Kerja sama memiliki dimensi yang sangat luas dalam kehidupan manusia, baik terkait tujuan positif maupun negatif. Dalam hal apa, bagaima- na, kapan dan di mana seseorang harus bekerjasama dengan orang lain tergantung pada kompleksitas dan tingkat kemajuan peradaban orang terse- but. Semakin modern seseorang, maka ia akan semakin banyak bekerja sama dengan orang lain, bahkan seakan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu tentunya dengan bantuan perangkat teknologi yang modern pula.
Bentuk kerjasama dapat dijumpai pada semua
kelompok orang dan usia. Sejak masa kanak-kanak, kebiasaan bekerjasama
sudah diajarkan di dalam kehidupan keluarga. Setelah dewasa, kerjasama
akan semakin berkembang dengan banyak orang untuk memenuhi berbagai
kebutuhan hidupnya. Pada taraf ini, kerjasama tidak hanya didasarkan
hubungan kekeluargaan, tetapi semakin kompleks. Dasar utama dalam kerja
sama ini adalah keahlian, di mana masing-masing orang yang memiliki
keahlian berbeda, bekerja bersama menjadi satu kelompok/tim dalam
menyeleseaikan sebuah pekerjaan. Kerja sama tersebut adakalanya harus
dilakukan dengan orang yang sama sekali belum dikenal, dan begitu
berjumpa langsung harus bekerja bersama dalam sebuah kolempok. Oleh
karena itu selain keahlian juga dibutuhkan kemampuan penyesuaian diri
dalam setiap lingkungan atau bersama segala mitra yang dijumpai.
Dari sudut pandang sosiologis, pelaksanaan
kerjasama antar kelom- pok masyarakat ada tiga bentuk (Soekanto, 1986:
60-63) yaitu: (a) bargaining yaitu kerjasama antara orang per
orang dan atau antarkelompok untuk mencapai tujuan tertentu dengan suatu
perjanjian saling menukar barang, jasa, kekuasaan, atau jabatan
tertentu, (b) cooptation yaitu kerjasama dengan cara rela
menerima unsur-unsur baru dari pihak lain dalam organisasi sebagai salah
satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan stabilitas
organisasi, dan (c) coalition yaitu kerjasama antara dua
organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama. Di antara
oganisasi yang berkoalisi memiliki batas-batas tertentu dalam kerjasama
sehingga jati diri dari masing-masing organisasi yang berkoalisi masih
ada. Bentuk-bentuk kerjasama di atas biasanya terjadai dalam dunia
politik.
Selain pandangan sosiologis, kerjasama dapat pula dilihat dari sudut manajemen yaitu dimaknai dengan istilah collaboration.
Makna ini sering digunakan dalam terminologi manajemen pemberdayaan
staf yaitu satu kerjasama antara manajer dengan staf dalam mengelola
organisasi. Dalam manajemen pemberdayaan, staf bukan dianggap sebagai
bawahan tetapi dianggap mitra kerja dalam usaha organisasi (Stewart,
1998; 88).
Kerjasama (collaboration) dalam pandangan
Stewart merupakan bagian dari kecakapan ”manajemen baru” yang belum
nampak pada manaje- men tradisional. Dalam manajemen tradisional
terdapat tujuh kecakapan/ proses kegiatan manajerial yaitu perencanaan (planning), komunikasi (com- municating), koordinasi (co-ordinating), memotivasi (motivating), pengen-dalian (controlling), mengarahkan (directing), dan memimpin (leading).
Adalah tidak dapat dipungkiri bahwa
kecakapan-kecakapan di atas seperti merencanakan, mengkomunikasikan,
mengkoordinasikan, dan memo- tivasi perlu dikuasai oleh seorang manajer.
Namun demikian, untuk kecakap- an yang ketiga terakhir yaitu
mengendalikan, mengarahkan, dan memimpin dianggap ”sudah tidak efektif
lagi”. Menurut Stewart perlu seperangkat kecakapan baru yang perlu
dikuasai oleh manajer era baru yaitu harus mampu membuat mampu (enabling), memperlancar (facilitating), berkonsultasi (consulting), bekerjasama (collaborating), membimbing (mentoring), dan mendukung (supporting).
Dalam bersosialisasi dan berorganisasi,
bekerjasama memiliki kedu- dukan yang sentral karena esensi dari
kehidupan sosial dan berorganisasi adalah kesepakatan bekerjasama. Tidak
ada organisasi tanpa kerjasama. Bahkan dalam pemberdayaan organisasi,
kerjasama adalah tujuan akhir dari setiap program pemberdayaan. Manajer
akan ditakar keberhasilannya dari seberapa mampu ia menciptakan
kerjasama di dalam organisasi (intern), dan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak di luar organisasi (ekstern).
Prinsip-prinsip organisasi yang selama ini
dikembangkan, hakikatnya merupakan perwujudan bentuk kerja sama yang
dilembagakan, di mana setiap orang dalam organisasi tersebut mengakui
dan tunduk terhadap organi-sasi. Prinsip-prinsip tersebut tentunya
merupakan hasil penelaahan yang lama dan mendalam tentang interaksi
manusia dalam organisasi, sehingga dinyata- kan sebagai sesuatu yang
hampir niscaya keberadaannya, yaitu:
- Adanya pembagian kerja (division of work). Pembagian kerja atau penempatan karyawan, secara normatif harus menggunakan prinsip the right man on the right place . Paling tidak ada dua dasar berpikir mengenai hal ini, yaitu (a) pekerjaan dalam organisasi volume dan/atau ragamnya cukup banyak sehingga tidak bisa ditangani oleh satu atau dua orang saja, dan (b) setiap orang memiliki minat, kecakapan, keahlian atau spesialisasi tertentu.
- Adanya pembagian wewenang dan tanggung jawab (authority and responsibility). Dalam tugas pekerjaannya, setiap staf dilengkapi oleh wewenang dalam melakukan pekerjaan tertentu dan setiap wewenang itu melekat suatu pertanggungjawaban. Agar staf dapat menjalankan kewenangan dan memenuhi tanggungjawabnya, perlu diberi peluang untuk saling bekerjasama antar sesama staf dan antara dirinya dengan manajer terkait.
- Adanya kesatuan perintah (unity of command) dan pengarahan (unity of direction). Dalam melakasanakan pekerjaan, karya- wan yang baik akan memperhatikan prinsip kesatuan perintah pada bidangnya sehingga pelaksanaan kerja dapat dijalankan dengan baik. Karyawan juga harus tahu kepada siapa ia harus bertanggung jawab. Perintah yang datang dari manajer bagian yang lain kepada seorang karyawan kadankala bisa mengacaukan kejelasan wewenang, tanggung jawab, dan pembagian kerja. Untuk memastikan adanya kesatuan perintah, perlu dijalin komunikasi dan kerjasama. Dalam pelaksanaan kerja, bisa saja terjadi adanya dua perintah yang bertentangan. Untuk keserasian perintah, sekali lagi diperlukan komunikasi, konsensus, dan kerjasama.
- Adanya ketertiban (order) organisasi. Ketertiban dalam organisasi dapat terlaksana dengan aturan yang ketat atau dapat pula karena telah tercip- tanya budaya kerja yang sangat kuat. Ketertiban dalam suatu pekerjaan dapat terwujud apabila seluruh karyawan, baik atasan maupun bawahan mempunyai disiplin yang tinggi dari masing-masing anggota organisasi.
- Adanya semangat kesatuan (semangat korp). Setiap staf harus memiliki rasa kesatuan, atau senasib sepenanggungan sehingga menimbulkan semangat kerjasama yang baik. Semangat kesatuan akan lahir apabila setiap karyawan mempunyai kesadaran bahwa setiap karyawan sangat berarti bagi karyawan lain. Setiap bagian dibutuhkan oleh bagian lainnya. Manajer yang memiliki kepemimpinan akan mampu melahirkan semangat kesatuan (esprit de corp), sedangkan manajer yang suka memaksakan kehendak dengan cara-cara yang kasar akan melahirkan friction de corp (perpecahan dalam korp).
Kelima prinsip di atas merupakan perwujudan kerja
sama antarindividu, yang telah dibingkai dalam organisasi. Chester I.
Barnard mengemukakan bahwa organisasi adalah sistem kerjasama antara dua
orang atau lebih (Djatmiko, 2002; 1). James D. Mooney juga berpendapat
bahwa organisasi adalah setiap bentuk kerjasama untuk pencapaian tujuan
bersama.
Sekolah adalah sebuah oganisasi. Di dalam sekolah
terdapat struktur organisasi, mulai kepala sekolah, wakil kepala, dewan
guru, staf, komite sekolah, dan tentu saja siswa-siswi. Dalam sekolah
terdapat kurikulum dan pembelajaran, biaya, sarana, dan hal-hal lain
yang harus direncanakan, dilaksankan, dipimpin, dan diawasi. Semuanya
itu bermuara pada hubungan kerja sama atau human relation.
Dalam proses pembinaan atau supervisi, Kepala
Sekolah diharapkan dapat menjalin kerjasama yang harmonis dan egaliter
yaitu tidak mengedepankan kewenangan yang dimilikinya. Pendekatan
otoritas dalam interaksi dengan bawahan di era sekarang ini sudah kurang
relevan. Yang lebih mengena adalah adalah pendekatan kolegial, di mana
Kepala Sekolah menempatkan diri sebagai mitra sekolah dalam mencapai
kemajuan.
Dewasa ini, kata “perintah, petunjuk dan pengarahan” sudah tidak populer lagi, digantikan oleh kata pemberdayaan dan pendampingan. Dalam hal ini kesan kerja sama lebih terasa.
Kepala Sekolah harus mengambil posisi sebagai
mitra bagi kepala sekolah dan komite sekolah dalam menjalankan tugasnya.
Yang dimaksud pemberda- yaan sekolah adalah membuat mampu (enabling) sekolah dalam menjalankan tugasnya dengan cara memperlancar (facilitating), menyediakan waktu dan tenaga untuk berlangsungnya proses konsultasi (consulting), membina bekerjasama (collaborating), membimbing (mentoring), dan mendukung (supporting) program positif sekolah.
B. Menumbuhkan Semangat Kerjasama di Lingkungan Sekolah
Di dalam sekolah, terdapat sejumlah orang yang
bekerja pada posisi dan peran masing-masing. Dari sudut pandang ini,
sekolah adalah sebuah tim kerja (team work). Kekuatan apakah
yang mempengaruhi kuat tidaknya sebuah organisasi/tim?. Salah satu
faktor penentunya adalah komitmen dari para anggota organisasi.
Komitmen dapat diartikan sebagai (a) keyakinan
dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi; (b)
kesediaan untuk bekerja dan menjadi bagian dari organisasi; dan (c)
bersungguh-sungguh untuk tetap menjadi anggota organisasi.
Di dalam memahami komitmen, terdapat tiga
pendekatan. Pertama adalah komitmen sebagai dorongan pribadi (yang
tulus), memiliki tiga elemen kunci, yaitu: continuance (perhitungan untung-rugi), cohesion (relationship-oriented) dan control.(
kepatuhan terhadap norma). Kedua, komitmen sebagai hasil interaksi
antara individu dengan organisasi. Ketiga, komitmen ditumbuhkan oleh
organisasi melalui kemampuannya memperhatikan pekerja.
Komitmen seorang anggota terhadap organisasi dipengaruhi berbagai variabel, yaitu:\
- Personal characteristics, meliputi jenis kelamin usia, pendidikan, tenure (kemapanan status pekerjaan), motivasi berprestasi, dan kompetensi, dan keberagamaan.
- Role-related characteristics, berkaitan dengan ruang lingkup pekerjaan, tantangan, konflik peranan, dan pertentangan peran.
- Work experiences, berkaitan dengan (dependabilitas organisasi, personal importance, pemenuhan harapan, sikap yang positif, dan gaya kepemimpinan.
- Strucutral characteristics, terkait dengan formalisasi, dependensi fungsional, desentralisasi, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.
Dalam pandangan Etzioni (1961), komitmen berkaitan dengan dua hal, yaitu (a) orientasi pekerja terhadap organisasinya (dalam arti keterlibatannya), meliput: alienative, calculative dan moral , dan (b) power yang digunakan oleh organisasi terhadap pekerja, berupa: coercive (hukuman); remunerative (memberikan imbalan), dan normatif. Komit- men ideal yang diharapkan adalah “normative compliance”,
yaitu kepa- tuhan yang didasarkan atas kesadaran normatif, bukan
kalkulatif apalagi takut terhadap hukuman. Hal ini digambarkan pada
gambar 2.1.
Dari gambar di atas dapat dijelaskan, bahwa
kerelaan seorang anggota organisasi untuk bekerja (bersungguh-sungguh)
terhadap organisasinya dipe- ngaruhi oleh dua dimensi, yaitu bagaimana
keterlibatan yang dia rasakan atau kehendaki, dan bagaimana kekuasaan
(power) organisasi yang membuat dia “tunduk” terhadap organisasi.
Keterlibatan seseorang dalam organisasi, dapat dikatgorikan menjadi
tiga, yaitu (a) alienative, maksudnya walau pun ia terlibat, namun ia merasa terkucil/terpinggirkan atau tidak menyatu, (b) calculative,
yaitu keterlibatan yang didasarkan pada perhitungan (untung rugi),
selagi menguntungkan ia akan terlibat, dan bila tidak ia pun tidak perlu
terlibat, (c) moral, yaitu keterlibatan karena panggilan moral atau
nilai-nilai yang diyakininya.
Sisi kedua adalah bagaimana kekuasaan yang
digunakan organisasi untuk membuat anggotanya tunduk dan patuh. Terdapat
tiga macam kekuasaan, yaitu (a) hukuman, maksudnya anggota patuh karena
takut akan hukuman, (b) imbalan, yaitu bila anggota patuh karena
mendapat imbalan, dan (c) normative, yaitu bila anggota patuh karena
kesadaran akan nilai-nilai yang dibangun oleh organisasi.
Pertemuan kedua dimensi tersebut akan menghasilkan
komitmen seorang anggota terhadap organisasi. Komitmen yang ideal,
adalah apabila seorang anggota merasa harus terlibat secara moral,
sebaliknya organisasi bukan menggunakan hukuman atau imbalan untuk
membuat anggota patuh tetapi menggunakan pendekatan normatif.
Selanjutnya terbentuknya komitmen pada pribadi seorang anggota organisasi melalui tiga tahapan sebagai berikut. Tahap pertama, masa basic training and initiation, merupakan masa pengembangan sikap seseorang terhadap organisasi, berlangsung selama tahun pertama. Tahap kedua,
ber-langsung tahun kedua sampai keempat, dimana seorang pekerja
menunjuk- kan kinerjanya untuk mendapatkan citra tentang pribadi (self image) dan nilai kehadirannya dalam organisasi (personal importance). Tahap ketiga, berlang- sung mulai tahun kelima dan seterusnya (outcome) berupa sikap kelompok terhadap organisasi, realisasi harapan, dan internalisasi komitmen terhadap norma-norma kerja.
Selanjutnya setelah komitmen masing-masing anggota
bisa dibangun, maka perlu ditumbuhkan semangat kerjasama di lingkungan
sekolah. Michael Maginn (2004), mengemukakan cara menumbuhkan semangat
kerjasama di lingkungan sekolah sebagai berikut.
- Tentukan tujuan bersama dengan jelas. Sebuah tim bagaikan sebuah kapal yang berlayar di lautan luas. Jika tim tidak memiliki tujuan atau arah yang jelas, tim tidak akan menghasilkan apa-apa. Tujuan memerupakan pernyataan apa yang harus diraih oleh tim, dan memberikan daya memotivasi setiap anggota untuk bekerja. Contohnya, sekolah yang telah merumuskan visi dan misi sekolah hendaknya menjadi tujuan bersama. Selain mengetahui tujuan bersama, masing-masing bagi- an seharusnya mengetahui tugas dan tanggungjawabnya untuk mencapai tujuan bersama tersebut.
- Perjelas keahlian dan tanggung jawab anggota. Setiap anggota tim harus menjadi pemain di dalam tim. Masing-masing bertanggung jawab terha- dap suatu bidang atau jenis pekerjaan/tugas. Di lingkungan sekolah, para guru selain melaksanakan proses pembelajaran biasanya diberikan tugas-tugas tambahan, seperti menjadi wali kelas, mengelola laboratorium, koperasi, dan lain-lain. Agar terbentuk kerja sama yang baik, maka pemberian tugas tambahan tersebut harus didasarkan pada keahlian mereka masing-masing.
- Sediakan waktu untuk menentukan cara bekerjasama. Meskipun setiap orang telah menyadari bahwa tujuan hanya bisa dicapai melalui kerja sama, namun bagaimana kerja sama itu harus dilakukan perlu adanya pedoman. Pedoman tersebut sebaiknya merupakan kesepakatan semua pihak yang terlibat. Pedoman dapat dituangkan secara tertulis atau sekedar sebagai konvensi.
- Hindari masalah yang bisa diprediksi. Artinya mengantisipasi masalah yang bisa terjadi. Seorang pemimpin yang baik harus dapatmengarahkan anak buahnya untuk mengantisipasi masalah yang akan muncul, bukan sekedar menyelesaikan masalah. Dengan mengantisipasi, apa lagi kalau dapat mengenali sumber-sumber masalah, maka organisasi tidak akan disibukkan kemunculan masalah yang silih berganti harus ditangani.
- Gunakan konstitusi atau aturan tim yang telah disepakati bersama. Peraturan tim akan banyak membantu mengendalikan tim dalam menyelesaikan pekerjaannya dan menyediakan petunjuk ketika ada hal yang salah. Selain itu perlu juga ada konsensus tim dalam mengerjakan satu pekerjaan.
- Ajarkan rekan baru satu tim agar anggota baru mengetahui bagaimana tim beroperasi dan bagaimana perilaku antaranggota tim berinteraksi. Yang dibutuhkan anggota tim adalah gambaran jelas tentang cara kerja, norma, dan nilai-nilai tim. Di lingkungan sekolah ada guru baru atau guru pindahan dari sekolah lain, sebagai anggota baru yang baru perlu ”diajari” bagaimana bekerja di lingkungan tim kerja di sekolah. Suatu sekolah terkadang sudah memiliki budaya saling pengertian, tanpa ada perintah setiap guru mengambil inisiatif untuk menegur siswa jika tidak disiplin. Cara kerja ini mungkin belum diketahui oleh guru baru sehingga perlu disampaikan agar tim sekolah tetap solid dan kehadiran guru baru tidak merusak sistem.
- Selalulah bekerjasama, caranya dengan membuka pintu gagasan orang lain. Tim seharusnya menciptakan lingkunganyang terbuka dengan gagasan setiap anggota. Misalnya sekolah sedang menghadapi masalah keamanan dan ketertiban, sebaiknya dibicarakan secara bersama-sama sehingga kerjasama tim dapat berfungsi dengan baik.
- Wujudkan gagasan menjadi kenyataan. Caranya dengan menggali atau memacu kreativitas tim dan mewujudkan menjadi suatu kenyataan. Di sekolah banyak sekali gagasan yang kreatif, karena itu usahakan untuk diwujudkan agar tim bersemangat untuk meraih tujuan. Dalam menggali gagasan perlu mencari kesamaan pandangan.
- Aturlah perbedaan secara aktif. Perbedaan pandangan atau bahkan konflik adalah hal yang biasa terjadi di sebuah lembaga atau organisasi. Organisasi yang baik dapat memanfaatkan perbedaan dan mengarahkannya sebagai kekuatan untuk memecahkan masalah. Cara yang paling baik adalah mengadaptasi perbedaan menjadi bagian konsensus yang produktif.
- Perangi virus konflik, dan jangan sekali-kali ”memproduksi” konflik. Di sekolah terkadang ada saja sumber konflik misalnya pembagian tugas yang tidak merata ada yang terlalu berat tetapi ada juga yang sangat ringan. Ini sumber konflik dan perlu dicegah agar tidak meruncing. Konflik dapat melumpuhkan tim kerja jika tidak segera ditangani.
- Saling percaya. Jika kepercayaan antaranggota hilang, sulit bagi tim untuk bekerja bersama. Apalagi terjadi, anggota tim cenderung menjaga jarak, tidak siap berbagi informasi, tidak terbuka dan saling curiga.. Situasi ini tidak baik bagi tim. Sumber saling ketidakpercayaan di sekolah biasanya berawal dari kebijakan yang tidak transparan atau konsensus yang dilanggar oleh pihak-pihak tertentu dan kepala sekolah tidak bertindak apapun. Membiarkan situasi yang saling tidak percaya antar-anggota tim dapat memicu konflik.
- Saling memberi penghargaan. Faktor nomor satu yang memotivasi karyawan adalah perasaan bahwa mereka telah berkontribusi terhadap pekerjaan danm prestasi organisasi. Setelah sebuah pekerjaan besar selesai atau ketika pekerjaan yang sulit membuat tim lelah, kumpulkan anggota tim untuk merayakannya. Di sekolah dapat dilakukan sesering mungkin setiap akhir kegiatan besar seperti akhir semester, akhir ujian nasional, dan lain-lain.
- Evaluasilah tim secara teratur. Tim yang efektif akan menyediakan waktu untuk melihat proses dan hasil kerja tim. Setiap anggota diminta untuk berpendapat tentang kinerja tim, evaluasi kembali tujuan tim, dan konstitusi tim.
- Jangan menyerah. Terkadang tim menghadapi tugas yang sangat sulit dengan kemungkinan untuk berhasil sangat kecil. Tim bisa menyerah dan mengizinkan kekalahan ketika semua jalan kreativitas dan sumberdaya yang ada telah dipakai. Untuk meningkatkan semangat anggotanya antara lain dengan cara memperjelas mengapa tujuan tertentu menjadi penting dan begitu vital untuk dicapai. Tujuan merupakan sumber energi tim. Setelah itu bangkitkan kreativitas tim yaitu dengan cara menggunakan kerangka fikir dan pendekatan baru terhadap masalah.
Pemberdayaan merupakan cara yang efektif untuk
mendapatkan kinerja yang terbaik dari dari staf atau pihak yang dibina.
Pemberdayaan lebih dari sekedar pendelegasian tugas dan kewenangan
tetapi juga pelimpah- an proses pengembangan keputusan dan tanggung
jawab secara penuh (Stewart, 1998; 22 – 23). Manfaat pemberdayaan selain
dapat meningkatkan kinerja juga mendatangkan manfaat lain bagi
individu-individu dan organi- sasi. Manfaatnya bagi individu adalah
dapat meningkatkan kecakapan-kecakapan penting pada saat menjalankan
tugasnya, dan memberi rasa berprestasi yang lebih besar kepada staf
sehingga akan meningkatkan motivasi kerja. Sedangkan manfaat bagi
organisasi adalah menambah efektivitas organisasi.
Untuk dapat memberdayakan organisasi/staf yang
dibina, seorang Kepala Sekolah tentu harus memberdayakan diri anda
sendiri terlebih dahulu. Ini modal utama agar dalam upaya pemberdayaan
lebih efektif. Bagaimana cara memperdayakan diri?. Stewart (1998: 35
-52) dalam bukunya Empowering People mengajurkan berikut:
- Periksalah keterbatasan kewenangan kita sendiri dan apakah dapat diperluas? Banyak orang begitu saja menganggap dirinya kekurangan dalam kekuasaan dan kewenangannya, tetapi tidak pernah sungguh-sungguh berusaha menemukan di mana sesungguhnya batas-batas itu. Apakah kita pernah membicarakan batas-batas itu dengan atasan kita yang lebih tinggi. Dan bila telah membicarakannya, apakah kita pernah berusaha untuk meminta agar batas-batas kewenangan kita diperluas?. Bahkan mungkin saja, batas-batas kewenangan kita diciptakan oleh pihak-pihak tertentu dan kita menerima saja karena tidak menyadarinya dan kurang wawasan. Dalam proses pemberdayaan sekolah, kewenangan yang diperluas memudahkan untuk berapresiasi dan berinovasi.
- Memperluas batas kewenangan. Artinya berinisiatif untuk melakukan inovasi, mengambil keputusan dan mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Memperluas kewenangan tidak berarti melawan aturan yang berlaku tetapi sedikit lebih berani untuk mengambil langkah pertama. Dalam mengambil langkah tentu saja perlu perencanaan dan sedikit pemikiran agar kita dapat mempertangung-jawabkan tindakan kita di kemudian hari.
- Lakukan “dialog batin” yaitu secara terus menerus. Dalam dialog batin ditanyakan kepada diri sendiri, apa yang diharapkan oleh dalam suatu situasi tertentu dan apa yang kita inginkan dari orang lain. Dialog batin akan lebih sibuk bagi mereka yang kurang percaya diri dan adanya berbagai kepentingan (orang menyebutnya sebagai “konflik batin”), karena banyak pertimbangan ketika harus mengambil keputusan. Hasil terbaik dari dialog batin akan melahirkan solusi untuk melawan kelemahan diri kita sendiri dan menumbuhkan keberanian untuk berinisatif. Stewart menyebutnya dengan istilah “membangun dialog batin yang positif”.
- Mengupayakan dukungan dan mengurangi hambatan-hambatan eksternal. Caranya, buatlah daftar prioritas pihak-pihak terkait yang kiranya berwenang dalam memberi izin dalam memperluas inisiatif kita. Sedangkan kepada pihak mitra, dalam hal ini pihak sekolah perlu dipikirkan sejumlah motivasi yang tepat agar sekolah dapat diberdayakan secara efektif. Ingat bahwa setiap orang tidak akan termotivasi oleh hal-hal yang sama. Ada orang yang suka termotivasi karena adanya gagasan untuk meningkatkan mutu sekolah, tetapi ada juga yang mungkin akan termotivasi dengan gagasan pembaharuan kurikulum, dan strategi pengelolaan sekolah.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara
memberdayakan sekolah?. Bentuk pemberdayaan yang disarankan adalah
kerjasama. Secara tradisional, budaya organisasi itu dapat berjalan
menurut empat budaya yaitu budaya kekuasaan, budaya peran, budaya tugas,
dan budaya perorangan (Stewart, 1998; 53 – 72). Budaya kekuasaan
tercipta pada organisasi yang dibangun oleh seorang penguasa
kharismatik. Semua keputusan bersumber dari pusat kekuasaan. Kepala
Sekolah yang menciptakan iklim organisasi budaya kekuasaan sangat sulit
menerima perbedaan pendapat dari sekolah yang dibinanya.
Budaya peran yaitu organisasi yang dibesarkan
dengan struktur birokratis dan prosedural. Struktur manajemennya
bersifat piramidal dan kekuasaan seseorang diperoleh dari peran dan
kedudukan yang dijabatnya. Kepala Sekolah yang menganut sistem ini,
akan meminta sekolah agar setiap bagian dikerjakan sesuai dengan
fungsinya masing-masing. Organisasi sekolah harus berjalan sesuai aturan
yang ketat.
Budaya tugas, yaitu budaya organisasi yang anggotanya bekerja berdasarkan tim proyek.
Tipe ini sangat berkembang pada lembaga-lembaga konsultan. Meski ada
peran administratif dan manajerial formal, tetapi strukturnya cenderung
diletakkan pada dasar bentuk tim proyek. Tim yang bekerja biasanya
berumur pendek disesuaikan dengan waktu yang dibutuhkan dalam satu
pekerjaan proyek. Tim akan dibentuk lagi dengan anggota yang berbeda
untuk mengerjakan proyek yang lainnya.
Budaya perorangan yaitu organisasi yang memberi
otonomi yang sangat tinggi kepada orang-orang yang ada di dalamnya.
Tidak ada struktur organisasi baku, bahkan kalau pun ada sifatnya hanya
mendukung bukan untuk mengendalikan. Organisasi ini hanya bersifat
kolegikal dan tidak mudah untuk memadukan orang-orangnya dalam suatu
usaha bersama.
Budaya organisasi perorangan dapat “diciptakan”
oleh Kepala Sekolah dengan beranggotakan para kepala sekolah yang berada
di bawah binaannya. Sekali waktu, dap[at dilakukan diskusi terfokus (Facused Group Discussion)
yang melibatkan para kepala sekolah. untuk menyelesaikan persoalan yang
dihadapi bersama. Diskusi dapat difasilitasi oleh Kepala Sekolah
sekolah. Ini adalah salah satu cara untuk mengembangkan kerjasama dalam
rangka meningkatkan kualitas Kepala Sekolah untuk melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya.
Budaya organisasi apa yang baik untuk
pemberdayan?. Budaya yang kondusif adalah budaya kerjasama dengan
piramida terbalik. Para kepala sekolah diarahkan agar memaksimalkan
pelayanannya kepada pelanggan (siswa, orang tua dan stakeholder
pendidikan lainnya) dengan menyediakan sumberdaya, bimbingan, dan
lain-lain yang diperlukan. Para staf barisan depan yaitu seperti guru
dan staf administrasi sekolah harus mengetahui benar tentang
kebutuhan-kebutuhan pelanggan.
Kepala Sekolah yang akan menumbuhkan budaya pemberdayaan di sekolah perlu dua hal yaitu memupuk kepercayaan dan keterbukaan.
Dalam membina kepercayaan, Kepala Sekolah meyakinkan bahwa dirinya
memberi kepercayaan kepada sekolah yang dibarengi oleh sikap mentolelir
sejumlah kekeliruan. Kepala Sekolah sebaiknya dapat menerima sejumlah
kesalahan yang sewaktu-waktu dapat saja terjadi. Ia memaklumi
kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh kepala sekolah dan guru sebatas
adanya maksud baik dari mereka untuk mencapai tujuan yang baik.
Toleransi terhadap kesalahan-kesalahan tidak
berarti menutup mata terhadap kecerobohan akibat ketidak tahuan,
keteledoran, dan atau kesenga- jaan. Mengulangi kesalahan-kesalahan
yang sebenarnya dapat dihindari tidak pernah dapat diterima. Lain halnya
kalau pengulangan kesalahan ditimbulkan oleh karena Kepala Sekolah
mengkritik kekeliruan tersebut tetapi tidak menjelaskan bagaimana cara
memperbaiki kekeliruan yang dibuat kepala sekolah atau guru.
Apakah perlu marah jika ada kesalahan?. Sebagian
dari kita mungkin masih percaya bahwa untuk mencegah kesalahan terulang
lagi diperlukan tindakan dengan cara memarahi. Namun dalam budaya
pemberdayaan, cara itu sangat tidak dianjurkan. Kita hanya memiliki hak
untuk membuat kepala sekolah, guru dan staf lainnya mengerti bahwa
mereka melakukan kesalahan tetapi tidak berhak untuk membuat mereka
merasa kecil hati.
Kunci untuk menjaga kepercayaan adalah keterbukaan.
Dalam Kepala Sekolahan, keterbukaan adalah kunci keberhasilan. Kepala
Sekolah yang tidak memperoleh informasi yang benar dari kepala sekolah
dan/atau guru tidak akan mampu melakukan pembinaan dan pemberdayaan.
Dalam keterbukaan, ada arus penilaian dari Kepala Sekolah terhadap
sekolah dan sebaliknya. Kepala Sekolah perlu mengetahui apakah dirinya
telah memenuhi harapan-harapan sekolah, sebaliknya sekolah pun
membutuhkan umpan balik yang sama dari Kepala Sekolah tentang kemajuan
sekolahnya menurut penilaian Kepala Sekolah.
Kerjasama inilah yang dapat meningkatkan kualitas
dan kinerja Kepala Sekolah. Apabila seorang Kepala Sekolah bersikap
otoriter dan tertutup, maka ia tidak akan memperoleh informasi yang
diharapkan dan akan melemahkan fungsinya sebagai supervisor. Kepala
Sekolah tipe ini biasanya hanya akan menjalankan tugasnya secara
formalitas. Sebaliknya, bila menghadapi Kepala Sekolah yang demikian,
maka kepala sekolah tidak akan memberikan informasi yang sebenarnya dan
cenderung menutupi kelemahannya.
Setelah tumbuh kepercayaan dan keterbukaan, Kepala
Sekolah melakukan kerjasama dengan pihak kepala sekolah dan guru untuk
memberdayakan sekolah. Dalam prakteknya, Kepala Sekolah mengambil
peranan sebagai supervisor yang memiliki wawasan pemberdayaan untuk
membantu mampu (enabling) kepala sekolah dan guru dalam
mengelola pendidikan dan pembelajaran, memperlancar pengembangan
sekolah, menerima konsultasi, menjadi perekat bekerjasama, membimbing
dan mendukung pihak terkait dalam menjalankan fungsinya dalam
pemberdayaan sekolah.
Pemberdayaan dengan supervisi memiliki filosofi
yang sama. Oteng Sutisna (1979: 69) dengan jelas menyatakan bahwa
supervisi ialah membantu para guru memperoleh arah diri dan belajar
memecahkan sendiri masalah-masalah yang mereka hadapi, dan sesuai dengan
itu mendorong mereka kepada kegiatan-kegiatan untuk menciptakan situasi
di mana murid-murid dapat belajar lebih efektif. Secara teknis,
alternatif pola kerjasama antara Kepala Sekolah, kepala dinas, kepala
sekolah, dan guru dapat digambar sebagai berikut:
Kepala Sekolah berada pada posisi sentral dalam
pengelolaan pendidikan di daerah. Dalam pembinaan sekolah, kepala dinas
memberi kepercayaan kepada Kepala Sekolah untuk bina guru dan kepala
sekolah. Pada saat bersamaan, Kepala Sekolah dapat membina guru melalui
kelembagaan MGMP dan membina kepala sekolah melalui MKKS. Hal yang perlu
ditegaskan dalam bagan di atas adalah bahwa hubungan antar fihak adalah
dalam suasana kemitraan.
PERANAN KEPALA SEKOLAH DALAM PENGEMBANGAN KERJASAMA SEKOLAHA. Peranan Kepala Sekolah dalam Pengembangan Kerjasama Eksternal
Dari waktu ke waktu persoalan hubungan antara
sekolah daengan masyarakat semakin menuntut perhatian. Sejalan dengan
tingkat pendidikan, kesejahteraan, dan kemajuan masyarakat maka
apresiasi dan aspirasi mereka terhadap lembaga pendidikan juga semakin
meningkat. Aspek yang paling banyak mendapat sorotan tentu saja adalah
mutu pendidikan, di samping transparansi pengelolaan.
Banyak definisi tentang hubungan masyarakat.
Awalnya hubungan masyarakat dikemukakan kali pertama oleh Thomas
Jefferson tahun 1807 yang ketika itu dimaknai sebagai Public Relation.
Ibnoe Syamsi dalam Suryosubroto (2004: 155)
mendefinisikan humas sebagai kegiatan organisasi untuk menciptakan
hubungan yang harmonis dengan masyarakat agar mereka mendukungnya dengan
sadar dan sukarela. Kegiatan kehumasan adalah melakukan publisitas
tentang kegiatan organisasi kerja (sekolah) yang patut diketahui oleh
pihak luar secara luas. Bentuknya adalah menyebarluaskan informasi dan
memberikan penerangan-penerangan untuk menciptakan pemahaman yang
sebaik-baiknya di kalangan masyarakat luas mengenai tugas-tugas dan
fungsi yang diemban sekolah tersebut, termasuk mengenai kegiatan yang
sudah, sedang, dan akan dikerjakan berdasarkan volume dan beban
kerjanya.
Menurut Suryosubroto (2004; 157), hasil kerja dari
kehumasan yang efektif apabila ada saling pengertian antara sekolah
dengan pihak masyarakat. Adanya kesediaan untuk untuk membantu karena
mengetahui manfaat, arti dan pentingnya peranan masing-masing, dan
tumbuhnya rasa ikut bertanggung jawab dari masyarakat terhadap kemajuan
sekolah.
Sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana keberadaan Dewan
Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah ditegaskan eksistensi serta peran
dan fungsinya, maka hubungan sekolah dengan masyarakat semakin perlu
dikelola dengan sungguh-sungguh. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan
bawa lemabaga ini memiliki peran memberikan pertimbangan, arahan dan
dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta Kepala Sekolahan
pendidikan. Implikasinya, masyara- kat berkepentingan terhadap informasi
dari sekolah agar mereka dapat memberikan pertimbangan, arahan, dan
dukungan terhadap sekolah. Sebaliknya, sekolah harus semakin terbuka
terhadap masyarakat dan menjalin hubungan dengan lebih intensif.
Kepala Sekolah yang memiliki fungsi supervisi dan perbantuan (enabling)
kepada sekolah dituntut untuk dapat membina kerjasama sekolah dengan
pihak-pihak lain yang terkait. Di bawah ini akan diajukan sejumlah
alternatif dalam membina kerjasama sekolah dengan pihak eksternal dalam
kepen-tingan pemberdayaan sekolah:
- Mendorong sekolah untuk melakukan dialog dengan komite sekolah dan masyarakat. Di dalam dialog, sekolah menyampaikan konsep dan strategi peningkatan mutu pendidikan dengan berbagai langkah taktisnya. Sementara itu pihak komite sekolah turut memikirkan dan memberi masukan terhadap program yang akan dilaksanakan oleh sekolah. Kepala Sekolah dapat berperan untuk memperlancar program peningkatan mutu sekolah dengan jaringan yang dimilikinya, seperti dengan kepala dinas pendidikan, kepala kantor cabang dinas kecamatan, dunia industri dan du- nia usaha, perpustakaan daerah, musium, dan lain-lain. Dalam posisi ini, Kepala Sekolah tidak hanya memantau hubungan sekolah dengan masyarakat dalam arti pasif tetapi juga memberikan bantuan dalam menjalin relasi tersebut.
- Membantu sekolah dalam perekayasaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) melalui organisasi Jaringan Kurikulum baik tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Perekayasaan KTSP tidak hanya dimaknai sebagai kegiatan penyusunan naskah KTSP, penyusunan jadwal mata pelajaran, pengumpulan silabus dan RPP, atau aspek teknis lainnya tetapi di dalamnya menyangkut mengembangan visi dan misi sekolah secara utuh dan aktif. Kepala Sekolah berperan membantu sekolah ketika melakukan relasi dengan pihak lain untuk mencari tempat kerja praktek (bagi SMK) dan melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan pihak luar dengan berbagai tujuan.
- Membantu sekolah menjalin hubungan dengan organisasi profesi dan keilmuan, seperti menjalin hubungan dengan Perguruan Tinggi, Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Geograf Indonesia, Masyarakat Sejarah Indonesia, Ikatan Akuntan Indonesia, dan lain-lain. Bahkan menjalin hubungan kelembagaan secara internasional yang kemudian kita kenal dengan gagasan Sekolah Koalisi. Tujuan kerjasama tersebut diarahkan agar lembaga profesi dapat memberikan peluang bagi siswa untuk melakukan interaksi dan menjadi sumber informasi.
- Membantu sekolah menjalin kelembagaan antar jenjang sekolah pada daerah binaannya. Artinya, sekolah dapat melakukan tukar informasi tentang kondisi dan kebijakan sekolah masing-masing. Bagi tingkat TK/RA menjalin hubungan kelembagaan dengan sejumlah SD/MI. Tingkat SD/MI menjalin hubungan dengan sejumlah SMP/MTs. Tingkat SMP/MTs dapat menjalin hubungan kerjasama dengan sejumlah SMA/MA. Manfaat kerjasama antara lain untuk memudahkan dalam menyalurkan minat anak didik yang ingin melanjutkan sekolah di tempat tersebut.
- Membantu sekolah dalam peningkatan proses pembelajaran muatan lokal antar sekolah yang dibinanya. Kepala Sekolah tidak hanya bertindak melaksa- nakan monitoring, tetapi juga meningkatkan akselerasi peningkatan mutu khususnya kurikulum muatan lokal. Karena itu, dibutuhkan kerjasama antarKepala Sekolah se Kabupaten/Kota dalam menyukseskan kurikulum muat- an lokal.
- Membantu sekolah dalam melakukan kegiatan bersama seperti pameran, Pekan Olah Raga dan Seni (PORSENI) antarsekolah, lomba cerdas cermat, pertukaran pelajar, latihan kepemimpinan antar OSIS, tryout dan pembinaan peserta olimpiade, dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut adalah instrumen dalam menjalin kerjasama dengan pihak luar terutama para stakeholder terkait agar mereka merasa ikut terlibat dalam peningkatan mutu pendidikan di daerahnya.
- Membantu sekolah dalam menyelenggarakan promosi guru berprestasi, siswa berprestasi, dan aspek akademik lainnya.
- Membantu sekolah dalam mencari sumber dana pelatihan dan penelitian bagi guru-guru seperti untuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang berkolaborasi dengan Perguruan Tinggi, pembinaan MGMP dan KKG, atau penyampaian informasi tentang dana hibah lainnya.
- Membantu sekolah dalam menjalin hubungan dengan dunia usaha jika sekolah berencana melakukan pengembangan usaha koperasi sekolah, peningkatan kesejahteraan guru, dan usaha lainnya yang relevan.
Dari sekian gagasan pemberdayaan sekolah di atas
mungkin saja ada yang melebihi dari tugas dan kewenangan Kepala Sekolah.
Di sinilah pentingnya pengetahuan Kepala Sekolah tentang peluang dalam
memperluas wewenang. Dengan maksud yang baik, Kepala Sekolah akan lebih
dekat dengan sekolah baik dengan kepala sekolah maupun guru. Kepala
Sekolah menjadi mitra kerja sekolah dan dengan demikian akan menghapus
gambaran yang kurang baik tentang Kepala Sekolah sekolah.
Apakah dengan kemauan yang besar dari Kepala
Sekolah sebagaimana yang telah digambarkan di atas, kinerja sekolah akan
meningkat?. Jawaban- nya belum tentu, karena kemampuan sekolah sangat
berbeda-beda. Untuk menciptakan sekolah yang dinamis sebagaimana yang
diharapkan, Kepala Sekolah melakukan langkah sebagai berikut:
- Niatkan untuk ”mengkader” kepala sekolah sebagai pionir pemberdayaan di sekolahnya. Artinya, perlu mengajak kepala sekolah untuk memahami visi sekolahnya dan merencanakan terobosan dalam pemberdayaan seko- lah.
- Langkah kedua, ”mendidik” sekolah dengan menciptakan kegiatan ber- sama di lingkungan sekolah-sekolah binaan Kepala Sekolah tanpa harus menunggu waktu yang disediakan oleh sekolah. Bersamaan dengan itu, Kepala Sekolah menciptakan situasi dan atau ”merekayasa” guna mendorong pihak sekolah perlu melakukan kerjasama dengan pihak tertentu dalam mengembangkan sekolah.
- Langkah ketiga, secara berkala Kepala Sekolah mengungkapkan laporan kemajuan sekolah di depan guru dan siswa dalam upacara bendera dan atau pada kesempatan lain. Dalam pertemuan, Kepala Sekolah mengemukakan pandangan dan pendapat sendiri dengan lugas dan jujur.
- Langkah keempat, menciptakan kegairahan dan semangat akan program pemberdayaan sekolah. Jika Kepala Sekolah tampak setengah-setengah atau tidak bersemangat terhadap proses pemberdayaan, jangan harap orang lain akan bergairah.
- Langkah kelima adalah memperlengkapi, artinya memberi sedikit jami-nan terhadap sesuatu yang masih menjadi keraguan pihak sekolah. Penga-was hendaknya memposisikan diri sebagai bagian dari tim sekolah sehingga ikut bertanggung jawab dalam suatu kegiatan.
- Langkah keenam adalah menilai, didalamnya tentu ada unsur memantau yang dilakukan secara terus menerus. Kepala Sekolah memberikan penilaian terhadap pihak sekolah dan sebaliknya Kepala Sekolah meminta pihak sekolah seperti dari kepala sekolah, guru, komite sekolah, bahkan siswa untuk menilai perkembangan selama kepemimpinannya dalam Kepala Sekolahan.
Dari langkah-langkah di atas, kegiatan yang paling
utama dan memi- liki dampak kebijakan secara langsung adalah dari
langkah pertama dan kedua yaitu mengkader kepala sekolah dan langkah
”mendidik” sekolah. Langkah selanjutnya akan mengikuti seiring dengan
perkembangan kondisi tahap kedua.
Untuk menciptakan kegiatan bersama, Kepala Sekolah
perlu melakukan koordinasi dengan dinas pendidikan dan pembentukan tim
panitia dari perwakilan masing-masing sekolah. Dalam penciptaan kegiatan
bersama, panitia harus memperhitungkan dampak penetesan (trickling down effect)
terhadap kegiatan lainnya. Misalnya untuk memacu penguasaan kompetensi
mata pelajaran, tim panitia lebih baik menyelenggarakan kegiatan cerdas
cermat daripada lomba pidato, kecuali untuk membina kemampuan berbahasa
lebih baik kegiatan lomba pidato daripada cerdas cermat.
Pemilihan kegiatan bersama dapat dirumuskan oleh tim panitia setelah
meminta pandangan dari tim pengembang KTSP tiap sekolah, kepala sekolah,
dan komite sekolah. Kepala Sekolah mencoba membuka jalan dan
menghilangkan rintangan-rintangan yang mungkin menghambat terlaksananya
kegiatan tersebut. Berikut adalah alternatif langkah membangun kerjasama
antar sekolah dalam sebuah kegiatan:
”Rekayasa” kedua adalah mempertemukan sekolah
dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan pengembangan kurikulum.
Dalam rencana program kerja tahunan, khususnya pada satuan pendidikan
Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mungkin membutuhkan tempat praktek kerja
dan atau lokasi kunjungan sekolah-sekolah. Atas alasan itu, sekolah
dapat diminta oleh Kepala Sekolah untuk melakukan MoU dengan pihak
industri untuk mendukung pelaksanaan kurikulum dengan baik. Berikut
adalah contoh ”rekayasa” pertemuan sekolah dengan pihak eksternal
sekolah seperti industri, musium, swasta, instansi pemerintah, dan
lain-lain:
Bagan di atas dapat diterangkan sebagai berikut.
Pada awalnya Kepala Sekolah melakukan pemahaman terhadap KTSP yang
dikembangkan oleh pihak sekolah. Setelah itu, ia menggali rencana
implementasi dari pengembangan kurikulum yang terkait dengan pihak
eksternal. Jika sekolah telah memiliki kemampuan dalam menjalin hubungan
dengan pihak eksternal sekolah, tugas Kepala Sekolah berusaha
menghilangkan rintangan yang mungkin akan dijumpai. Tetapi jika ternyata
apa yang direncanakan oleh pihak sekolah masih kurang memadai maka
Kepala Sekolah dapat berperan sebagai fasilitator yaitu membantu sekolah
mempersiapkan MoU dengan pihak-pihak eksternal.
Ada kalanya dalam melakukan MoU, pihak sekolah
masih merasa ragu, takut salah, dan membutuhkan penguatan dari Kepala
Sekolah. Sebaliknya, Kepala Sekolah juga terkadang merasa khawatir
terhadap inovasi yang lahir dari sekolah. Jika menghadapi kondisi
demikian, disarankan untuk kembali pada langkah awal yaitu pemberdayaan
diri sendiri terlebih dahulu. Karena barangali kita semua masih tidak
memahami kewenangan masing-masing dan tidak mengetahui sejauh mana
kewenangan kita dapat diperluas.
B. Kerjasama untuk Peningkatan Mutu Pendidikan
Tujuan akhir dari kinerja Kepala Sekolah
hakikatnya adalah untuk menjamin mutu pendidikan pada sekolah-sekolah
yang dibinanya. Dengan kemampuan untuk menumbuhkan kerjasama, maka tugas
tersebut akan dapat diwujudkan.
Pada materi yang lain mungkin telah dibahas
tentang kegiatan penjaminan mutu. Pada kesempatan sekarang, akan diulas
kembali secara singkat mudah-mudahan dapat menambah wawasan teoritis.
Perbedaannya, pembahasan akan diarahkan pada peningkatan peran Kepala
Sekolah dalam membangun kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait
dengan penjaminan mutu pendidikan.
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia sebenarnya
sudah banyak di bahas. Di tengah dunia internasional, kemampuan siswa
dalam bidang studi matematika menurut TIMSS-Examination Centre, Office of Research and Development, Ministry of National Education
(2000) menduduki urutan ke 34 dengan skor 40,3 di bawah Malaysia
(urutan ke 16), Thailand (urutan ke 27), dan Turki (urutan ke 31).
Begitu pula pada mata pelajaran IPA, siswa Indonesia hanya menduduki
urutan ke 32 (Ditjen PMPTK, 2006). Dari hasil studi yang dilakukan oleh
IAEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement)
di Asia Timur juga menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas
IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor membaca untuk SD
adalah sebagai berikut: (1) Hongkong 75,5, (2) Singapura 74,0, (3)
Thailand 65,1, (4) Filipina 52,6, dan (5) Indonesia 51,7. Hasil
penelitian lain menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia hanya mampu
menguasai 30% materi bacaan. Mereka menemui kesulitan dalam membaca
soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Untuk tingkat
SLTP, ternyata prestasi belajar mereka juga menunjukkan hasil yang tidak
menggembirakan. The Third International Mathematics and Science Study
(IAEA, 1999) melaporkan bahwa diantara 38 negara peserta, prestasi
siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke–32 untuk IPA, ke-34
untuk Matematika. Di samping itu, setiap tahunnya sekitar tiga juta anak
putus sekolah, dan mereka tidak memiliki keterampilan hidup (Balitbang
Diknas, 1999).
Kondisi ini sangat menantang dan seharusnya
menjadi panggilan jiwa dari para guru, kepala sekolah, dan Kepala
Sekolah untuk bersama-sama memikirkan pemecahannya. Dalam hal ini,
Kepala Sekolah ikut memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan dan
menjamin mutu.
Dalam konsep penjaminan mutu, seringkali
dipertanyakan yaitu siapakah yang seharusnya memutuskan suatu produk dan
pelayanan tertentu dikatakan bermutu: apakah produsen atau konsumen?
Hal ini perlu dipertanyakan sebab antara pandangan produsen dan konsumen
tidak selalu sama. Menurut produsen bisa saja dikatakan bahwa produknya
bermutu, sempurna, dan bermanfaat tetapi terkadang terjadi penolakan
oleh konsumen terhadap produk dan layanan tersebut. Produk yang memenuhi
spesifikasi terkadang tidak menjamin meningkatnya jumlah penjualan.
Untuk mengatasi perbedaan ini, maka muncullah apa yang kita kenal dengan
Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management – TQM).
Organisasi-organisasi yang menganut konsep TQM
melihat mutu sebagai sesuatu yang didefinisikan oleh pelanggan-pelanggan
mereka. Pelanggan adalah penilai terhadap mutu dan institusi sebagai
produsen tidak akan mampu bertahan tanpa mereka. Institusi pelaku TQM
akan menggu- nakan semua cara untuk mengeksplorasi kebutuhan
pelanggannya. Edwin L. Artzt, CEO Proctor Gamble Company, mengatakan
bahwa pe1anggan-pelanggan kami adalah mereka yang menjual dan juga
menggunakan produk kami. Dengan demikian, tujuan mutu terpadu adalah
memahami kebutuhan pelanggan yang selalu berkemhang, serta menggunakan
pengetahuan tersebut untuk diterjemahkan ke dalam produk-produk yang
inovatif. Dengan konsep di atas, lahirlah konsep mutu yaitu kemudian
didefinisikan sebagai sesuatu yang memuaskan dan melampaui keinginan dan
kebutuhan pelanggan. Definisi ini disebut juga dengan istilah, mutu
sesuai persepsi (quality in perception).
Ada tiga konsep dasar yang perlu dipahami dalam peningkatan mutu yaitu antara lain kontrol mutu (quality control), jaminan mutu (quality assurance) dan mutu terpadu (total quality).
Kontrol mutu secara historis merupakan konsep mutu yang paling tua. Ia
melibatkan deteksi dan eliminasi terhadap produk-produk gagal yang tidak
sesuai dengan standar. Tujuannya adalah penilaian proses pasca-produksi
yang melacak dan menolak item-item yang cacat. Kontrol mutu biasanya
dilakukan oleh pekerja-pekerja yang dikenal sebagai pemeriksa mutu.
Dalam dunia pendidikan, kontrol mutu diimplementasikan dengan
pelaksanaan Ujian Nasional (UN) karena hasilnya dapat dijadikan sebagai
bahan untuk kontrol mutu.
Berbeda dengan kontrol mutu, ada lagi istilah
tentang jaminan mutu. Jaminan mutu merupakan kegiatan yang bertujuan
untuk mencegah terjadinya kesalahan sejak awal proses produksi. Jarninan
rnutu dirancang sedemikian rupa untuk menjamin bahwa proses produksi
menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan
sebelumnya. Jaminan mutu adalah sebuah cara memproduksi produk yang
bebas dari cacat dan kesalahan.
Lebih luas dari jaminan mutu adalah TQM
yang berusaha mencipta-kan sebuah kultur mutu, yang mendorong semua
anggota stafnya untuk memuaskan para pelanggan. Dalam konsep TQM
pelanggan adalah raja. ini merupakan pendekatan yang dipopulerkan oleh
Peters dan Waterman dalam In Search of Excellence, dan telah
menjadi tema khas dalam tulisan-tulisan Tom Peters (Sallis, 2006; 59).
Sifat TQM adalah perbaikan yang terus menerus untuk memenuhi harapan
pelanggan. Dengan memuaskan pelang-gan, bisa dipastikan bahwa mereka
akan kembali lagi dan memberitahu teman-temannya tentang produk atau
layanan tersebut. Inilah yang disebut dengan mutu yang menjual (sell-on quality).
Bagaimana dengan TQM pada dunia pendidikan?. Dunia
pendidikan tidak memandang siswa sebagai produk mutu, karena anggapan
ini akan membawa kita pada logika bahwa jika ingin menghasilkan produk
yang baik maka harus memasukkan “bahan mentah” yang baik pula. Jika
logika ini diterapkan dengan ketat maka model pendidikan apakah yang
akan kita ciptakan?. Di Indonesia, konsep ini tidak berlaku karena
setiap warga negara berhak memperoleh pengajaran.