Senin, 16 September 2013

MENUMBUHKUN SEMANGAT KERJASAMA DI SEKOLAH


MENUMBUHKAN SEMANGAT KERJA SAMA DI SEKOLAH

MENUMBUHKAN SEMANGAT KERJA SAMA DI SEKOLAH
OLEH
AMAS SUTIANA*)
A. Latar Belakang
Kepala Sekolah satuan pendidikan memiliki peran dan fungsi strategis dalam mendorong kemajuan sekolah-sekolah yang menjadi binaannya. Dengan pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki, mereka dapat membe- rikan inspirasi dan mendorong para kepala sekolah, guru serta tenaga kependidikan lainnya untuk terus mengembangkan profesionalisme dan meningkatkan kinerja mereka. Bagi kepala sekolah, Kepala Sekolah layaknya mitra tempat berbagi serta konsultan tempat meminta saran dan pendapat dalam pengelolaan sekolah. Sementara itu bagi guru, Kepala Sekolah selayaknya menjadi ”gurunya guru” dalam memecahkan problema dan meningkatkan kualitas pembelajaran.
Untuk dapat menjalankan peran dan fungsi tersebut, Kepala Sekolah dituntut memiliki kompetensi sosial, khususnya dalam menjalin kerja sama dengan para kepala sekolah, guru dan stakeholder lainnya. Hal ini karena dalam bekerja Kepala Sekolah  mesti bertemu banyak orang dengan berbagai latar belakang, kondisi serta persoalan yang dihadapi. Mereka juga harus mampu bekerja sama baik dengan individu maupun kelompok.
Untuk membina kemampuan bekerjasama, dalam tulisan ini akan dibahas tentang pengertian, kedudukan dan manfaat bekerjasama; menum- buhkan kerjasama di lingkungan sekolah, pemberdayaan sekolah melalui kerjasama, peranan Kepala Sekolah dalam penguatan kerjasama eksternal, dan kerjasama untuk peningkatan mutu pendidikan.
KERJA SAMA DALAM ORGANISASI SEKOLAH
A. Pengertian, Kedudukan dan Fungsi Kerjasama
Kerja sama merupakan salah satu fitrah manusia sebagai mahluk sosial. Kerja sama memiliki dimensi yang sangat luas dalam kehidupan manusia, baik terkait tujuan positif maupun negatif.  Dalam hal apa, bagaima- na, kapan dan di mana seseorang harus bekerjasama dengan orang lain tergantung pada kompleksitas dan tingkat kemajuan peradaban orang terse- but. Semakin modern seseorang, maka ia akan  semakin banyak bekerja sama dengan orang lain, bahkan seakan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu tentunya dengan bantuan perangkat teknologi yang modern pula.
Bentuk kerjasama dapat dijumpai pada semua kelompok orang dan usia. Sejak masa kanak-kanak, kebiasaan bekerjasama sudah diajarkan di dalam kehidupan keluarga. Setelah dewasa, kerjasama akan semakin berkembang dengan banyak orang untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Pada taraf ini, kerjasama tidak hanya didasarkan hubungan kekeluargaan, tetapi semakin kompleks. Dasar utama dalam kerja sama ini adalah keahlian, di mana masing-masing orang yang memiliki keahlian berbeda, bekerja bersama menjadi satu kelompok/tim dalam menyeleseaikan sebuah pekerjaan. Kerja sama tersebut adakalanya harus dilakukan dengan orang yang sama sekali belum dikenal, dan begitu berjumpa langsung harus bekerja bersama dalam sebuah kolempok. Oleh karena itu selain keahlian juga dibutuhkan kemampuan penyesuaian diri dalam setiap lingkungan atau bersama segala mitra yang dijumpai.
Dari sudut pandang sosiologis, pelaksanaan kerjasama antar kelom- pok masyarakat ada tiga bentuk (Soekanto, 1986: 60-63) yaitu: (a) bargaining yaitu kerjasama antara orang per orang dan atau antarkelompok untuk mencapai tujuan tertentu dengan suatu perjanjian saling menukar barang, jasa, kekuasaan, atau jabatan tertentu, (b) cooptation yaitu kerjasama dengan cara rela menerima unsur-unsur baru dari pihak lain dalam organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan stabilitas organisasi, dan (c) coalition yaitu kerjasama antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama. Di antara oganisasi yang berkoalisi memiliki batas-batas tertentu dalam kerjasama sehingga jati diri dari masing-masing organisasi yang berkoalisi masih ada. Bentuk-bentuk kerjasama di atas biasanya terjadai dalam dunia politik.
Selain pandangan sosiologis, kerjasama dapat pula dilihat dari sudut manajemen yaitu dimaknai dengan istilah collaboration. Makna ini sering digunakan dalam terminologi manajemen pemberdayaan staf yaitu satu kerjasama antara manajer dengan staf dalam mengelola organisasi. Dalam manajemen pemberdayaan, staf bukan dianggap sebagai bawahan tetapi dianggap mitra kerja dalam usaha organisasi (Stewart, 1998; 88).
Kerjasama (collaboration) dalam pandangan Stewart merupakan bagian dari kecakapan ”manajemen baru” yang belum nampak pada manaje- men tradisional. Dalam manajemen tradisional terdapat tujuh kecakapan/ proses kegiatan manajerial yaitu perencanaan (planning), komunikasi (com- municating),  koordinasi  (co-ordinating), memotivasi (motivating), pengen-dalian (controlling), mengarahkan (directing), dan memimpin (leading).
Adalah tidak dapat dipungkiri bahwa kecakapan-kecakapan di atas seperti merencanakan, mengkomunikasikan, mengkoordinasikan, dan memo- tivasi perlu dikuasai oleh seorang manajer. Namun demikian, untuk kecakap- an yang ketiga terakhir yaitu mengendalikan, mengarahkan, dan memimpin dianggap ”sudah tidak efektif lagi”. Menurut Stewart perlu seperangkat kecakapan baru yang perlu dikuasai oleh manajer era baru yaitu harus mampu membuat mampu (enabling), memperlancar (facilitating), berkonsultasi (consulting), bekerjasama (collaborating), membimbing (mentoring), dan mendukung (supporting).
Dalam bersosialisasi dan berorganisasi, bekerjasama memiliki kedu- dukan yang sentral karena esensi dari kehidupan sosial dan berorganisasi adalah kesepakatan bekerjasama. Tidak ada organisasi tanpa   kerjasama. Bahkan dalam pemberdayaan organisasi, kerjasama adalah tujuan akhir dari setiap program pemberdayaan. Manajer akan ditakar keberhasilannya dari seberapa mampu ia menciptakan kerjasama di dalam organisasi (intern), dan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak di luar organisasi (ekstern).
Prinsip-prinsip organisasi yang selama ini dikembangkan, hakikatnya merupakan perwujudan bentuk kerja sama yang dilembagakan, di mana setiap orang dalam organisasi tersebut mengakui dan tunduk terhadap organi-sasi. Prinsip-prinsip tersebut tentunya merupakan hasil penelaahan yang lama dan mendalam tentang interaksi manusia dalam organisasi, sehingga dinyata- kan sebagai sesuatu yang hampir niscaya keberadaannya, yaitu:
  1. Adanya pembagian kerja (division of work). Pembagian kerja atau penempatan karyawan, secara normatif harus menggunakan prinsip the right man on the right place . Paling tidak ada dua dasar berpikir mengenai hal ini, yaitu (a) pekerjaan dalam organisasi volume dan/atau ragamnya cukup banyak sehingga tidak bisa ditangani oleh satu atau dua orang saja, dan (b) setiap orang memiliki minat, kecakapan, keahlian atau spesialisasi tertentu.
  2. Adanya pembagian wewenang dan tanggung jawab (authority and responsibility). Dalam tugas pekerjaannya, setiap  staf dilengkapi oleh wewenang dalam melakukan pekerjaan tertentu dan setiap wewenang itu melekat suatu pertanggungjawaban. Agar staf dapat menjalankan kewenangan dan memenuhi tanggungjawabnya, perlu diberi peluang untuk saling bekerjasama antar sesama staf dan antara dirinya dengan manajer terkait.
  3. Adanya kesatuan perintah (unity of command) dan pengarahan (unity of direction). Dalam melakasanakan pekerjaan, karya- wan yang baik akan memperhatikan prinsip kesatuan perintah pada bidangnya sehingga pelaksanaan kerja dapat dijalankan dengan baik. Karyawan juga harus tahu kepada siapa ia harus bertanggung jawab. Perintah yang datang dari manajer bagian yang lain kepada seorang karyawan kadankala bisa mengacaukan kejelasan wewenang, tanggung jawab, dan pembagian kerja. Untuk memastikan adanya kesatuan perintah, perlu dijalin komunikasi dan kerjasama. Dalam pelaksanaan kerja, bisa saja terjadi adanya dua perintah yang bertentangan. Untuk keserasian perintah, sekali lagi diperlukan komunikasi, konsensus, dan kerjasama.
  4. Adanya ketertiban (order) organisasi. Ketertiban dalam organisasi dapat terlaksana dengan aturan yang ketat atau dapat pula karena telah tercip- tanya budaya kerja yang sangat kuat. Ketertiban dalam suatu pekerjaan dapat terwujud apabila seluruh karyawan, baik atasan maupun bawahan mempunyai disiplin yang tinggi dari masing-masing anggota organisasi.
  5. Adanya semangat kesatuan (semangat korp). Setiap staf harus memiliki rasa kesatuan, atau senasib sepenanggungan sehingga menimbulkan semangat kerjasama yang baik. Semangat kesatuan akan lahir apabila setiap karyawan mempunyai kesadaran bahwa setiap karyawan sangat berarti bagi karyawan lain. Setiap bagian dibutuhkan oleh bagian lainnya. Manajer yang memiliki kepemimpinan akan mampu melahirkan semangat kesatuan (esprit de corp), sedangkan manajer yang suka memaksakan kehendak dengan cara-cara yang kasar akan melahirkan friction de corp (perpecahan dalam korp).
Kelima prinsip di atas merupakan perwujudan kerja sama antarindividu, yang telah dibingkai dalam organisasi. Chester I. Barnard mengemukakan bahwa organisasi adalah sistem kerjasama antara dua orang atau lebih (Djatmiko, 2002; 1). James D. Mooney juga berpendapat bahwa organisasi adalah setiap bentuk kerjasama untuk pencapaian tujuan bersama.
Sekolah adalah sebuah oganisasi. Di dalam sekolah terdapat struktur organisasi, mulai kepala sekolah, wakil kepala, dewan guru, staf, komite sekolah, dan tentu saja siswa-siswi. Dalam sekolah terdapat kurikulum dan pembelajaran, biaya, sarana, dan hal-hal lain yang harus direncanakan, dilaksankan, dipimpin, dan diawasi. Semuanya itu bermuara pada hubungan kerja sama atau human relation.
Dalam proses pembinaan atau supervisi, Kepala Sekolah diharapkan dapat menjalin kerjasama yang harmonis dan egaliter yaitu tidak mengedepankan kewenangan yang dimilikinya.   Pendekatan otoritas dalam interaksi dengan bawahan di era sekarang ini sudah kurang relevan. Yang lebih mengena adalah adalah pendekatan kolegial, di mana Kepala Sekolah menempatkan diri sebagai mitra sekolah dalam mencapai kemajuan.
Dewasa ini, kata “perintah, petunjuk dan  pengarahan” sudah tidak populer lagi, digantikan oleh kata pemberdayaan dan pendampingan. Dalam hal ini kesan kerja sama lebih terasa.
Kepala Sekolah harus mengambil posisi sebagai mitra bagi kepala sekolah dan komite sekolah dalam menjalankan tugasnya. Yang dimaksud pemberda- yaan sekolah adalah membuat mampu (enabling) sekolah dalam menjalankan tugasnya dengan cara memperlancar (facilitating), menyediakan waktu dan tenaga untuk berlangsungnya proses konsultasi (consulting), membina bekerjasama (collaborating), membimbing (mentoring), dan mendukung (supporting) program positif sekolah.
B. Menumbuhkan Semangat Kerjasama di Lingkungan Sekolah
Di dalam sekolah, terdapat sejumlah orang yang bekerja pada posisi dan peran masing-masing. Dari sudut pandang ini, sekolah adalah sebuah tim kerja (team work). Kekuatan apakah yang mempengaruhi kuat tidaknya sebuah organisasi/tim?. Salah satu faktor penentunya adalah komitmen dari para anggota organisasi.
Komitmen dapat diartikan sebagai (a)  keyakinan dan penerimaan yang kuat terhadap tujuan dan nilai-nilai organisasi; (b) kesediaan untuk bekerja dan menjadi bagian dari organisasi; dan (c) bersungguh-sungguh untuk tetap menjadi anggota organisasi.
Di dalam memahami komitmen, terdapat tiga pendekatan. Pertama adalah komitmen sebagai dorongan pribadi (yang tulus),  memiliki tiga elemen kunci, yaitu: continuance (perhitungan untung-rugi), cohesion (relationship-oriented) dan control.( kepatuhan terhadap norma). Kedua, komitmen sebagai hasil interaksi antara individu dengan organisasi. Ketiga, komitmen ditumbuhkan oleh organisasi melalui kemampuannya memperhatikan pekerja.
Komitmen seorang anggota terhadap organisasi dipengaruhi berbagai variabel, yaitu:\
  1. Personal characteristics, meliputi jenis kelamin usia, pendidikan, tenure (kemapanan status pekerjaan), motivasi berprestasi, dan kompetensi, dan keberagamaan.
  2. Role-related characteristics, berkaitan dengan ruang lingkup pekerjaan, tantangan, konflik peranan, dan pertentangan peran.
  3. Work experiences, berkaitan dengan (dependabilitas organisasi, personal importance, pemenuhan harapan, sikap yang positif, dan gaya kepemimpinan.
  4. Strucutral characteristics, terkait dengan formalisasi, dependensi fungsional, desentralisasi, dan partisipasi dalam pengambilan keputusan.
Dalam pandangan Etzioni (1961), komitmen berkaitan dengan dua hal, yaitu (a) orientasi pekerja terhadap organisasinya (dalam arti keterlibatannya), meliput: alienative, calculative dan moral , dan (b) power yang digunakan oleh organisasi terhadap pekerja, berupa: coercive (hukuman); remunerative (memberikan imbalan), dan normatif. Komit- men ideal yang diharapkan adalah “normative compliance”, yaitu kepa- tuhan yang didasarkan atas kesadaran normatif, bukan kalkulatif apalagi takut terhadap hukuman. Hal ini digambarkan pada gambar 2.1.
Dari gambar di atas dapat dijelaskan, bahwa kerelaan seorang anggota organisasi untuk bekerja (bersungguh-sungguh) terhadap organisasinya dipe- ngaruhi oleh dua dimensi, yaitu bagaimana keterlibatan yang dia rasakan atau kehendaki, dan bagaimana kekuasaan (power) organisasi yang membuat dia “tunduk” terhadap organisasi. Keterlibatan seseorang dalam organisasi, dapat dikatgorikan menjadi tiga, yaitu (a) alienative, maksudnya walau pun ia terlibat, namun ia merasa terkucil/terpinggirkan atau tidak menyatu, (b) calculative, yaitu keterlibatan yang didasarkan pada perhitungan (untung rugi), selagi menguntungkan ia akan terlibat, dan bila tidak ia pun tidak perlu terlibat, (c) moral, yaitu keterlibatan karena panggilan moral atau nilai-nilai yang diyakininya.
Sisi kedua adalah bagaimana kekuasaan yang digunakan organisasi untuk membuat anggotanya tunduk dan patuh. Terdapat tiga macam kekuasaan, yaitu (a) hukuman, maksudnya anggota patuh karena takut akan hukuman, (b) imbalan, yaitu bila anggota patuh karena mendapat imbalan, dan (c) normative, yaitu bila anggota patuh karena kesadaran akan nilai-nilai yang dibangun oleh organisasi.
Pertemuan kedua dimensi tersebut akan menghasilkan komitmen seorang anggota terhadap organisasi. Komitmen yang ideal, adalah apabila seorang anggota merasa harus terlibat secara moral, sebaliknya organisasi bukan menggunakan hukuman atau imbalan untuk membuat anggota patuh tetapi menggunakan pendekatan normatif.
Selanjutnya terbentuknya komitmen pada pribadi seorang anggota organisasi melalui tiga tahapan sebagai berikut. Tahap pertama, masa basic training and initiation, merupakan masa pengembangan sikap seseorang terhadap organisasi, berlangsung selama tahun pertama. Tahap kedua, ber-langsung tahun kedua sampai keempat,  dimana seorang pekerja menunjuk- kan kinerjanya untuk mendapatkan citra tentang pribadi (self image) dan nilai kehadirannya dalam organisasi (personal importance). Tahap ketiga, berlang- sung mulai tahun kelima dan seterusnya (outcome) berupa sikap kelompok terhadap organisasi, realisasi harapan, dan internalisasi komitmen terhadap norma-norma kerja.
Selanjutnya setelah komitmen masing-masing anggota bisa dibangun, maka perlu ditumbuhkan semangat kerjasama di lingkungan sekolah.  Michael Maginn (2004), mengemukakan cara menumbuhkan semangat kerjasama di lingkungan sekolah sebagai berikut.
  1. Tentukan tujuan bersama dengan jelas. Sebuah tim bagaikan sebuah kapal yang berlayar di lautan luas. Jika tim tidak memiliki tujuan atau arah yang jelas, tim tidak akan menghasilkan apa-apa.  Tujuan memerupakan pernyataan apa yang harus diraih oleh tim, dan memberikan daya memotivasi setiap anggota untuk bekerja. Contohnya, sekolah yang telah merumuskan visi dan misi sekolah hendaknya menjadi tujuan bersama. Selain mengetahui tujuan bersama, masing-masing bagi- an seharusnya mengetahui tugas dan tanggungjawabnya untuk mencapai tujuan bersama tersebut.
  2. Perjelas keahlian dan tanggung jawab anggota. Setiap anggota tim harus menjadi pemain di dalam tim. Masing-masing bertanggung jawab terha- dap suatu bidang atau jenis pekerjaan/tugas. Di lingkungan sekolah, para guru selain melaksanakan proses pembelajaran biasanya diberikan tugas-tugas tambahan, seperti menjadi wali kelas, mengelola laboratorium, koperasi, dan lain-lain. Agar terbentuk kerja sama yang baik, maka pemberian tugas tambahan tersebut harus didasarkan pada keahlian mereka masing-masing.
  3. Sediakan waktu untuk menentukan cara bekerjasama. Meskipun setiap orang telah menyadari bahwa tujuan hanya bisa dicapai melalui kerja sama, namun bagaimana kerja sama itu harus dilakukan perlu adanya pedoman. Pedoman tersebut sebaiknya merupakan kesepakatan semua pihak yang terlibat. Pedoman dapat dituangkan secara tertulis atau sekedar sebagai konvensi.
  4. Hindari masalah yang bisa diprediksi. Artinya mengantisipasi masalah yang bisa terjadi.  Seorang pemimpin yang baik harus dapatmengarahkan anak buahnya untuk mengantisipasi masalah yang akan muncul, bukan sekedar menyelesaikan masalah. Dengan mengantisipasi, apa lagi kalau dapat mengenali sumber-sumber masalah, maka organisasi tidak akan disibukkan kemunculan masalah yang silih berganti harus ditangani.
  5. Gunakan konstitusi atau aturan tim yang telah disepakati bersama. Peraturan tim akan banyak membantu mengendalikan tim dalam menyelesaikan pekerjaannya dan menyediakan petunjuk ketika ada hal yang salah. Selain itu perlu juga  ada konsensus tim dalam mengerjakan satu pekerjaan.
  6. Ajarkan rekan baru satu tim agar anggota baru mengetahui bagaimana tim beroperasi dan bagaimana perilaku antaranggota tim berinteraksi. Yang dibutuhkan anggota tim adalah gambaran jelas tentang cara kerja, norma, dan nilai-nilai tim. Di lingkungan sekolah ada guru baru atau guru pindahan dari sekolah lain, sebagai anggota baru yang baru perlu ”diajari” bagaimana bekerja di lingkungan tim kerja di sekolah. Suatu sekolah terkadang sudah memiliki budaya saling pengertian, tanpa ada perintah setiap guru mengambil inisiatif untuk menegur siswa jika tidak disiplin. Cara kerja ini mungkin belum diketahui oleh guru baru sehingga perlu disampaikan agar tim sekolah tetap solid dan kehadiran guru baru tidak merusak sistem.
  7. Selalulah bekerjasama, caranya dengan membuka pintu gagasan orang lain. Tim  seharusnya menciptakan lingkunganyang terbuka dengan gagasan  setiap anggota. Misalnya sekolah sedang menghadapi masalah keamanan dan ketertiban, sebaiknya dibicarakan secara bersama-sama sehingga kerjasama tim dapat berfungsi dengan baik.
  8. Wujudkan gagasan menjadi kenyataan. Caranya dengan menggali atau memacu kreativitas tim dan mewujudkan menjadi suatu kenyataan. Di sekolah banyak sekali gagasan yang kreatif, karena itu usahakan untuk diwujudkan agar tim bersemangat untuk meraih tujuan. Dalam menggali gagasan perlu mencari kesamaan pandangan.
  9. Aturlah perbedaan secara aktif. Perbedaan pandangan atau bahkan konflik adalah hal yang biasa terjadi di sebuah lembaga atau organisasi. Organisasi yang baik dapat memanfaatkan perbedaan dan mengarahkannya sebagai  kekuatan untuk memecahkan masalah. Cara yang paling baik adalah mengadaptasi perbedaan menjadi bagian konsensus yang produktif.
  10. Perangi virus konflik, dan jangan sekali-kali ”memproduksi” konflik. Di sekolah terkadang ada saja sumber konflik misalnya pembagian tugas yang tidak merata ada yang terlalu berat tetapi ada juga yang sangat ringan. Ini sumber konflik dan perlu dicegah agar tidak meruncing. Konflik dapat melumpuhkan tim kerja jika tidak segera ditangani.
  11. Saling percaya. Jika kepercayaan antaranggota hilang, sulit bagi tim untuk bekerja bersama. Apalagi terjadi, anggota tim cenderung menjaga jarak, tidak siap berbagi informasi,  tidak terbuka dan saling curiga.. Situasi ini tidak baik bagi tim. Sumber saling ketidakpercayaan di sekolah biasanya  berawal dari  kebijakan yang tidak transparan atau konsensus yang dilanggar oleh pihak-pihak tertentu dan kepala sekolah tidak bertindak apapun. Membiarkan situasi yang saling tidak percaya antar-anggota tim dapat memicu konflik.
  12. Saling memberi penghargaan. Faktor nomor satu yang memotivasi karyawan adalah perasaan bahwa mereka telah berkontribusi terhadap pekerjaan danm prestasi organisasi. Setelah sebuah pekerjaan besar selesai atau ketika pekerjaan yang sulit membuat tim lelah, kumpulkan anggota tim untuk merayakannya. Di sekolah dapat dilakukan sesering mungkin setiap akhir kegiatan besar seperti akhir semester, akhir ujian nasional, dan lain-lain.
  13. Evaluasilah tim secara teratur. Tim yang efektif akan menyediakan waktu untuk melihat proses dan hasil kerja tim. Setiap anggota diminta untuk berpendapat tentang kinerja tim, evaluasi kembali tujuan tim, dan konstitusi tim.
  14. Jangan menyerah. Terkadang tim menghadapi tugas yang sangat sulit dengan kemungkinan untuk berhasil sangat kecil. Tim bisa menyerah dan mengizinkan kekalahan ketika semua jalan kreativitas dan sumberdaya yang ada telah dipakai. Untuk meningkatkan semangat anggotanya antara lain dengan cara memperjelas mengapa tujuan tertentu menjadi penting dan begitu vital untuk dicapai. Tujuan merupakan sumber energi tim. Setelah itu bangkitkan kreativitas tim yaitu dengan cara menggunakan kerangka fikir dan pendekatan baru terhadap masalah.
Dari empat belas langkah di atas, dapat dirangkum dalam peta konsep seperti gambar di halaman berikut:
C. Pemberdayaan Sekolah melalui Kerjasama
Pemberdayaan merupakan cara yang efektif untuk mendapatkan kinerja yang terbaik dari dari staf atau pihak yang dibina. Pemberdayaan lebih dari sekedar pendelegasian tugas dan kewenangan tetapi juga pelimpah- an proses pengembangan keputusan dan tanggung jawab secara penuh (Stewart, 1998; 22 – 23). Manfaat pemberdayaan selain dapat meningkatkan kinerja juga mendatangkan manfaat lain bagi individu-individu dan organi- sasi. Manfaatnya bagi individu adalah dapat meningkatkan kecakapan-kecakapan penting pada saat menjalankan tugasnya, dan memberi rasa berprestasi yang lebih besar kepada staf sehingga akan meningkatkan motivasi kerja. Sedangkan manfaat bagi organisasi adalah menambah efektivitas organisasi.
Untuk dapat memberdayakan organisasi/staf yang dibina, seorang Kepala Sekolah tentu harus memberdayakan diri anda sendiri terlebih dahulu. Ini modal utama agar dalam upaya pemberdayaan lebih efektif. Bagaimana cara memperdayakan diri?. Stewart (1998: 35 -52) dalam bukunya Empowering People mengajurkan berikut:
  1. Periksalah keterbatasan kewenangan kita sendiri dan apakah dapat diperluas? Banyak orang begitu saja menganggap dirinya kekurangan dalam kekuasaan dan kewenangannya, tetapi tidak pernah sungguh-sungguh berusaha menemukan di mana sesungguhnya batas-batas itu. Apakah kita pernah membicarakan batas-batas itu dengan atasan kita yang lebih tinggi. Dan bila telah membicarakannya, apakah kita pernah berusaha untuk meminta agar batas-batas kewenangan kita diperluas?. Bahkan mungkin saja, batas-batas kewenangan kita diciptakan oleh pihak-pihak tertentu dan kita menerima saja karena tidak menyadarinya dan kurang wawasan. Dalam proses pemberdayaan sekolah, kewenangan yang diperluas memudahkan untuk berapresiasi dan berinovasi.
  2. Memperluas batas kewenangan. Artinya berinisiatif untuk melakukan inovasi, mengambil keputusan dan mengambil tanggung jawab yang lebih besar. Memperluas kewenangan tidak berarti melawan aturan yang berlaku tetapi sedikit lebih berani untuk mengambil langkah pertama. Dalam mengambil langkah tentu saja perlu perencanaan dan sedikit pemikiran agar kita dapat mempertangung-jawabkan tindakan kita di kemudian hari.
  3. Lakukan “dialog batin” yaitu secara terus menerus.  Dalam dialog batin ditanyakan kepada  diri sendiri, apa yang diharapkan oleh  dalam suatu situasi tertentu dan apa yang kita inginkan dari orang lain. Dialog batin akan lebih sibuk bagi mereka yang kurang percaya diri dan adanya berbagai kepentingan (orang menyebutnya sebagai “konflik batin”), karena banyak pertimbangan ketika harus mengambil keputusan. Hasil terbaik dari dialog batin akan melahirkan solusi untuk melawan kelemahan diri kita sendiri dan menumbuhkan keberanian untuk berinisatif. Stewart menyebutnya dengan istilah “membangun dialog batin yang positif”.
  4. Mengupayakan dukungan dan mengurangi hambatan-hambatan eksternal. Caranya, buatlah daftar prioritas pihak-pihak terkait yang kiranya berwenang dalam memberi izin dalam memperluas inisiatif kita. Sedangkan kepada pihak mitra, dalam hal ini pihak sekolah perlu dipikirkan sejumlah motivasi yang tepat agar sekolah dapat diberdayakan secara efektif. Ingat bahwa setiap orang tidak akan termotivasi oleh hal-hal yang sama. Ada orang yang suka termotivasi karena adanya gagasan untuk meningkatkan mutu sekolah, tetapi ada juga yang mungkin akan termotivasi dengan gagasan pembaharuan kurikulum, dan strategi pengelolaan sekolah.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana cara memberdayakan sekolah?. Bentuk pemberdayaan yang disarankan adalah kerjasama. Secara tradisional, budaya organisasi itu dapat berjalan menurut empat budaya yaitu budaya kekuasaan, budaya peran, budaya tugas, dan budaya perorangan (Stewart, 1998; 53 – 72). Budaya kekuasaan tercipta pada organisasi yang dibangun oleh seorang penguasa kharismatik. Semua keputusan bersumber dari pusat kekuasaan. Kepala Sekolah yang menciptakan iklim organisasi budaya kekuasaan sangat sulit menerima perbedaan pendapat dari sekolah yang dibinanya.
Budaya peran yaitu organisasi yang dibesarkan dengan struktur birokratis dan prosedural. Struktur manajemennya bersifat piramidal dan kekuasaan seseorang diperoleh dari peran dan kedudukan yang dijabatnya.  Kepala Sekolah yang menganut sistem ini, akan meminta sekolah agar setiap bagian dikerjakan sesuai dengan fungsinya masing-masing. Organisasi sekolah harus berjalan sesuai aturan yang ketat.
Budaya tugas, yaitu budaya organisasi yang anggotanya bekerja berdasarkan tim proyek. Tipe ini sangat berkembang pada lembaga-lembaga konsultan. Meski ada peran administratif dan manajerial formal, tetapi strukturnya cenderung diletakkan pada dasar bentuk tim proyek. Tim yang bekerja biasanya berumur pendek disesuaikan dengan waktu yang dibutuhkan dalam satu pekerjaan proyek. Tim akan dibentuk lagi dengan anggota yang berbeda untuk mengerjakan proyek yang lainnya.
Budaya perorangan yaitu organisasi yang memberi otonomi yang sangat tinggi kepada orang-orang yang ada di dalamnya. Tidak ada struktur organisasi baku, bahkan kalau pun ada sifatnya hanya mendukung bukan untuk mengendalikan. Organisasi ini hanya bersifat kolegikal dan tidak mudah untuk memadukan orang-orangnya dalam suatu usaha bersama.
Budaya organisasi perorangan dapat “diciptakan” oleh Kepala Sekolah dengan beranggotakan para kepala sekolah yang berada di bawah binaannya. Sekali waktu,  dap[at dilakukan diskusi terfokus (Facused Group Discussion) yang melibatkan para kepala sekolah. untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi bersama. Diskusi dapat difasilitasi oleh Kepala Sekolah sekolah. Ini adalah salah satu cara untuk mengembangkan kerjasama dalam rangka meningkatkan kualitas Kepala Sekolah untuk melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.
Budaya organisasi apa yang baik untuk pemberdayan?. Budaya yang kondusif adalah budaya kerjasama dengan piramida terbalik. Para kepala sekolah diarahkan agar memaksimalkan pelayanannya kepada pelanggan (siswa, orang tua dan stakeholder pendidikan lainnya) dengan menyediakan sumberdaya, bimbingan, dan lain-lain yang diperlukan. Para staf barisan depan yaitu seperti guru dan staf administrasi sekolah harus mengetahui benar tentang kebutuhan-kebutuhan pelanggan.
Kepala Sekolah yang akan menumbuhkan budaya pemberdayaan di sekolah perlu dua hal yaitu memupuk kepercayaan dan keterbukaan. Dalam membina kepercayaan, Kepala Sekolah meyakinkan bahwa dirinya memberi kepercayaan kepada sekolah yang dibarengi oleh sikap mentolelir sejumlah kekeliruan. Kepala Sekolah sebaiknya dapat menerima sejumlah kesalahan yang sewaktu-waktu dapat saja terjadi. Ia memaklumi kesalahan-kesalahan yang dibuat oleh kepala sekolah dan guru sebatas adanya maksud baik dari mereka untuk mencapai tujuan yang baik.
Toleransi terhadap kesalahan-kesalahan tidak berarti menutup mata terhadap kecerobohan akibat ketidak tahuan,  keteledoran, dan atau kesenga- jaan. Mengulangi kesalahan-kesalahan yang sebenarnya dapat dihindari tidak pernah dapat diterima. Lain halnya kalau pengulangan kesalahan ditimbulkan oleh karena Kepala Sekolah mengkritik kekeliruan tersebut tetapi tidak menjelaskan bagaimana cara memperbaiki kekeliruan yang dibuat kepala sekolah atau guru.
Apakah perlu marah jika ada kesalahan?. Sebagian dari kita mungkin masih percaya bahwa untuk mencegah kesalahan terulang lagi diperlukan tindakan dengan cara memarahi. Namun dalam budaya pemberdayaan, cara itu sangat tidak dianjurkan. Kita hanya memiliki hak untuk membuat kepala sekolah, guru dan staf lainnya mengerti bahwa mereka melakukan kesalahan tetapi tidak berhak untuk membuat mereka merasa kecil hati.
Kunci untuk menjaga kepercayaan adalah keterbukaan. Dalam Kepala Sekolahan, keterbukaan adalah kunci keberhasilan. Kepala Sekolah yang tidak memperoleh informasi yang benar dari kepala sekolah dan/atau guru tidak akan mampu melakukan pembinaan dan pemberdayaan. Dalam keterbukaan, ada arus penilaian dari Kepala Sekolah terhadap sekolah dan sebaliknya. Kepala Sekolah perlu mengetahui apakah dirinya telah memenuhi harapan-harapan sekolah, sebaliknya sekolah pun membutuhkan umpan balik yang sama dari Kepala Sekolah tentang kemajuan sekolahnya menurut penilaian Kepala Sekolah.
Kerjasama inilah yang dapat meningkatkan kualitas dan kinerja Kepala Sekolah. Apabila seorang Kepala Sekolah bersikap otoriter dan tertutup, maka ia tidak akan memperoleh informasi yang diharapkan dan akan melemahkan fungsinya sebagai supervisor. Kepala Sekolah tipe ini biasanya hanya akan menjalankan tugasnya secara formalitas. Sebaliknya, bila menghadapi  Kepala Sekolah yang demikian, maka kepala sekolah tidak akan memberikan informasi yang sebenarnya dan cenderung menutupi kelemahannya.
Setelah tumbuh kepercayaan dan keterbukaan, Kepala Sekolah melakukan kerjasama dengan pihak kepala sekolah dan guru untuk memberdayakan sekolah. Dalam prakteknya, Kepala Sekolah mengambil peranan sebagai supervisor yang memiliki wawasan pemberdayaan untuk membantu mampu (enabling) kepala sekolah dan guru dalam mengelola pendidikan dan pembelajaran, memperlancar pengembangan sekolah, menerima konsultasi, menjadi perekat bekerjasama, membimbing dan mendukung pihak terkait dalam menjalankan fungsinya dalam pemberdayaan sekolah.
Pemberdayaan dengan supervisi memiliki filosofi yang sama. Oteng Sutisna (1979: 69) dengan jelas menyatakan bahwa supervisi ialah membantu para guru memperoleh arah diri dan belajar memecahkan sendiri masalah-masalah yang mereka hadapi, dan sesuai dengan itu mendorong mereka kepada kegiatan-kegiatan untuk menciptakan situasi di mana murid-murid dapat belajar lebih efektif. Secara teknis, alternatif pola kerjasama antara Kepala Sekolah, kepala dinas, kepala sekolah, dan guru dapat digambar sebagai berikut:
Kepala Sekolah berada pada posisi sentral dalam pengelolaan pendidikan di daerah. Dalam pembinaan sekolah, kepala dinas memberi kepercayaan kepada Kepala Sekolah untuk bina guru dan kepala sekolah. Pada saat bersamaan, Kepala Sekolah dapat membina guru melalui kelembagaan MGMP dan membina kepala sekolah melalui MKKS. Hal yang perlu ditegaskan dalam bagan di atas adalah bahwa hubungan antar fihak adalah dalam suasana kemitraan.
PERANAN KEPALA SEKOLAH  DALAM PENGEMBANGAN KERJASAMA SEKOLAH
A. Peranan Kepala Sekolah dalam Pengembangan Kerjasama Eksternal
Dari waktu ke waktu persoalan hubungan antara sekolah daengan masyarakat semakin menuntut perhatian. Sejalan dengan tingkat pendidikan, kesejahteraan, dan kemajuan masyarakat maka apresiasi dan aspirasi mereka terhadap lembaga pendidikan juga semakin meningkat. Aspek yang paling banyak mendapat sorotan tentu saja adalah mutu pendidikan, di samping transparansi pengelolaan.
Banyak definisi tentang hubungan masyarakat. Awalnya hubungan masyarakat dikemukakan kali pertama oleh Thomas Jefferson tahun 1807 yang ketika itu dimaknai sebagai Public Relation.
Ibnoe Syamsi dalam Suryosubroto (2004: 155) mendefinisikan humas sebagai kegiatan organisasi untuk menciptakan hubungan yang harmonis dengan masyarakat agar mereka mendukungnya dengan sadar dan sukarela. Kegiatan kehumasan adalah melakukan publisitas tentang kegiatan organisasi kerja (sekolah) yang patut diketahui oleh pihak luar secara luas. Bentuknya adalah menyebarluaskan informasi dan memberikan penerangan-penerangan untuk menciptakan pemahaman yang sebaik-baiknya di kalangan masyarakat luas mengenai tugas-tugas dan fungsi yang diemban sekolah tersebut, termasuk mengenai kegiatan yang sudah, sedang, dan akan dikerjakan berdasarkan volume dan beban kerjanya.
Menurut Suryosubroto (2004; 157), hasil kerja dari kehumasan yang efektif apabila ada saling pengertian antara sekolah dengan pihak masyarakat. Adanya kesediaan untuk untuk membantu karena mengetahui manfaat, arti dan pentingnya peranan masing-masing, dan tumbuhnya rasa ikut bertanggung jawab dari masyarakat terhadap kemajuan sekolah.
Sejak ditetapkannya Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, di mana keberadaan Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah/Madrasah ditegaskan eksistensi serta peran dan fungsinya, maka hubungan sekolah dengan masyarakat semakin perlu dikelola dengan sungguh-sungguh. Dalam undang-undang tersebut ditegaskan bawa lemabaga ini memiliki peran memberikan pertimbangan, arahan dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta Kepala Sekolahan pendidikan. Implikasinya, masyara- kat berkepentingan terhadap informasi dari sekolah agar mereka dapat memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan terhadap sekolah. Sebaliknya, sekolah harus semakin terbuka terhadap masyarakat dan menjalin hubungan dengan lebih intensif.
Kepala Sekolah yang memiliki fungsi supervisi dan perbantuan (enabling) kepada sekolah dituntut untuk dapat membina kerjasama sekolah dengan pihak-pihak lain yang terkait. Di bawah ini akan diajukan sejumlah alternatif dalam membina kerjasama sekolah dengan pihak eksternal dalam kepen-tingan pemberdayaan sekolah:
  1. Mendorong sekolah untuk melakukan dialog dengan komite sekolah dan masyarakat. Di dalam dialog, sekolah menyampaikan konsep dan strategi peningkatan mutu pendidikan dengan berbagai langkah taktisnya. Sementara itu pihak komite sekolah turut memikirkan dan memberi masukan terhadap program yang akan dilaksanakan oleh sekolah. Kepala Sekolah dapat berperan untuk memperlancar program peningkatan mutu sekolah dengan jaringan yang dimilikinya, seperti dengan kepala dinas pendidikan, kepala kantor cabang dinas kecamatan, dunia industri dan du- nia usaha, perpustakaan daerah, musium, dan lain-lain. Dalam posisi ini, Kepala Sekolah tidak hanya memantau hubungan sekolah dengan masyarakat dalam arti pasif tetapi juga memberikan bantuan dalam menjalin relasi tersebut.
  2. Membantu sekolah dalam perekayasaan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) melalui organisasi Jaringan Kurikulum baik tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Perekayasaan KTSP tidak hanya dimaknai sebagai kegiatan penyusunan naskah KTSP, penyusunan jadwal mata pelajaran, pengumpulan silabus dan RPP, atau aspek teknis lainnya tetapi di dalamnya menyangkut mengembangan visi dan misi sekolah secara utuh dan aktif. Kepala Sekolah berperan membantu sekolah ketika melakukan relasi dengan pihak lain untuk mencari tempat kerja praktek (bagi SMK) dan melakukan Memorandum of Understanding (MoU) dengan pihak luar dengan berbagai tujuan.
  3. Membantu sekolah menjalin hubungan dengan organisasi profesi dan keilmuan, seperti menjalin hubungan dengan Perguruan Tinggi, Ikatan Dokter Indonesia, Ikatan Geograf Indonesia, Masyarakat Sejarah Indonesia, Ikatan Akuntan Indonesia, dan lain-lain. Bahkan menjalin hubungan kelembagaan secara internasional yang kemudian kita kenal dengan gagasan Sekolah Koalisi. Tujuan kerjasama tersebut diarahkan agar lembaga profesi dapat memberikan peluang bagi siswa untuk melakukan interaksi dan menjadi sumber informasi.
  4. Membantu sekolah menjalin kelembagaan antar jenjang sekolah pada daerah binaannya. Artinya, sekolah dapat melakukan tukar informasi tentang kondisi dan kebijakan sekolah masing-masing. Bagi tingkat TK/RA menjalin hubungan kelembagaan dengan sejumlah SD/MI. Tingkat SD/MI menjalin hubungan dengan sejumlah SMP/MTs. Tingkat SMP/MTs dapat menjalin hubungan kerjasama dengan sejumlah SMA/MA. Manfaat kerjasama antara lain untuk memudahkan dalam menyalurkan minat anak didik yang ingin melanjutkan sekolah di tempat tersebut.
  5. Membantu sekolah dalam peningkatan proses pembelajaran muatan lokal antar sekolah yang dibinanya. Kepala Sekolah tidak hanya bertindak melaksa- nakan monitoring, tetapi juga meningkatkan akselerasi peningkatan mutu khususnya kurikulum muatan lokal. Karena itu, dibutuhkan kerjasama antarKepala Sekolah se Kabupaten/Kota dalam menyukseskan kurikulum muat- an lokal.
  6. Membantu sekolah dalam melakukan kegiatan bersama seperti pameran, Pekan Olah Raga  dan Seni (PORSENI) antarsekolah, lomba cerdas cermat, pertukaran pelajar, latihan kepemimpinan antar OSIS, tryout dan pembinaan peserta olimpiade, dan lain-lain. Semua kegiatan tersebut adalah instrumen dalam menjalin kerjasama dengan pihak luar terutama para stakeholder terkait agar mereka merasa ikut terlibat dalam peningkatan mutu pendidikan di daerahnya.
  7. Membantu sekolah dalam menyelenggarakan promosi guru berprestasi, siswa berprestasi, dan aspek akademik lainnya.
  8. Membantu sekolah dalam mencari sumber dana pelatihan dan penelitian bagi guru-guru seperti untuk Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yang berkolaborasi dengan Perguruan Tinggi, pembinaan MGMP dan KKG, atau penyampaian informasi tentang dana hibah lainnya.
  9. Membantu sekolah dalam menjalin hubungan dengan dunia usaha jika sekolah berencana melakukan pengembangan usaha koperasi sekolah, peningkatan kesejahteraan guru, dan usaha lainnya yang relevan.
Dari sekian gagasan pemberdayaan sekolah di atas mungkin saja ada yang melebihi dari tugas dan kewenangan Kepala Sekolah. Di sinilah pentingnya pengetahuan Kepala Sekolah tentang peluang dalam memperluas wewenang. Dengan maksud yang baik, Kepala Sekolah akan lebih dekat dengan sekolah baik dengan kepala sekolah maupun guru. Kepala Sekolah menjadi mitra kerja sekolah dan dengan demikian akan menghapus gambaran yang kurang baik tentang Kepala Sekolah sekolah.
Apakah dengan kemauan yang besar dari Kepala Sekolah sebagaimana yang telah digambarkan di atas, kinerja sekolah akan meningkat?. Jawaban- nya belum tentu, karena kemampuan sekolah sangat berbeda-beda. Untuk menciptakan sekolah yang dinamis sebagaimana yang diharapkan, Kepala Sekolah melakukan langkah sebagai berikut:
  1. Niatkan untuk ”mengkader” kepala sekolah sebagai pionir pemberdayaan di sekolahnya. Artinya, perlu mengajak kepala sekolah untuk memahami visi sekolahnya dan merencanakan terobosan dalam pemberdayaan seko- lah.
  2. Langkah kedua, ”mendidik” sekolah dengan menciptakan kegiatan ber- sama di lingkungan sekolah-sekolah binaan Kepala Sekolah tanpa harus menunggu waktu yang disediakan oleh sekolah. Bersamaan dengan itu, Kepala Sekolah menciptakan situasi dan atau ”merekayasa” guna mendorong pihak sekolah perlu melakukan kerjasama dengan pihak tertentu dalam mengembangkan sekolah.
  3. Langkah ketiga, secara berkala Kepala Sekolah mengungkapkan laporan kemajuan sekolah di depan guru dan siswa dalam upacara bendera dan atau pada kesempatan lain. Dalam pertemuan, Kepala Sekolah mengemukakan pandangan dan pendapat sendiri dengan lugas dan jujur.
  4. Langkah keempat,   menciptakan kegairahan dan semangat akan program pemberdayaan sekolah. Jika Kepala Sekolah tampak setengah-setengah atau tidak bersemangat terhadap proses pemberdayaan, jangan harap orang lain akan bergairah.
  5. Langkah kelima adalah memperlengkapi, artinya memberi sedikit jami-nan terhadap sesuatu yang masih menjadi keraguan pihak sekolah. Penga-was hendaknya memposisikan diri sebagai bagian dari tim sekolah sehingga ikut bertanggung jawab dalam suatu kegiatan.
  6. Langkah keenam adalah menilai, didalamnya tentu ada unsur memantau    yang dilakukan secara terus menerus. Kepala Sekolah memberikan penilaian terhadap pihak sekolah dan sebaliknya Kepala Sekolah meminta pihak sekolah seperti dari kepala sekolah, guru, komite sekolah, bahkan siswa untuk menilai perkembangan selama kepemimpinannya dalam Kepala Sekolahan.
Dari langkah-langkah di atas, kegiatan yang paling utama dan memi- liki dampak kebijakan secara langsung adalah dari langkah pertama dan kedua yaitu mengkader kepala sekolah dan langkah ”mendidik” sekolah. Langkah selanjutnya akan mengikuti seiring dengan perkembangan kondisi tahap kedua.
Untuk menciptakan kegiatan bersama, Kepala Sekolah perlu melakukan koordinasi dengan dinas pendidikan dan pembentukan tim panitia dari perwakilan masing-masing sekolah. Dalam penciptaan kegiatan bersama, panitia harus memperhitungkan dampak penetesan (trickling down effect) terhadap kegiatan lainnya. Misalnya untuk memacu penguasaan kompetensi mata pelajaran, tim panitia lebih baik menyelenggarakan kegiatan cerdas cermat daripada lomba pidato, kecuali untuk membina kemampuan berbahasa lebih baik kegiatan lomba pidato daripada cerdas cermat.
Pemilihan kegiatan bersama dapat dirumuskan oleh tim panitia setelah meminta pandangan dari tim pengembang KTSP tiap sekolah, kepala sekolah, dan komite sekolah. Kepala Sekolah mencoba membuka jalan dan menghilangkan rintangan-rintangan yang mungkin menghambat terlaksananya kegiatan tersebut. Berikut adalah alternatif langkah membangun kerjasama antar sekolah dalam sebuah kegiatan:
”Rekayasa” kedua adalah mempertemukan sekolah dengan pihak-pihak lain yang terkait dengan pengembangan kurikulum. Dalam rencana program kerja tahunan, khususnya pada satuan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) mungkin membutuhkan tempat praktek kerja dan atau lokasi kunjungan sekolah-sekolah. Atas alasan itu, sekolah dapat diminta oleh Kepala Sekolah untuk melakukan MoU dengan pihak industri untuk mendukung pelaksanaan kurikulum dengan baik. Berikut adalah contoh ”rekayasa” pertemuan sekolah dengan pihak eksternal sekolah seperti industri, musium, swasta, instansi pemerintah, dan lain-lain:
Bagan di atas dapat diterangkan sebagai berikut. Pada awalnya Kepala Sekolah melakukan pemahaman terhadap KTSP yang dikembangkan oleh pihak sekolah. Setelah itu, ia menggali rencana implementasi dari pengembangan kurikulum yang terkait dengan pihak eksternal. Jika sekolah telah memiliki kemampuan dalam menjalin hubungan dengan pihak eksternal sekolah, tugas Kepala Sekolah berusaha menghilangkan rintangan yang mungkin akan dijumpai. Tetapi jika ternyata apa yang direncanakan oleh pihak sekolah masih kurang memadai maka Kepala Sekolah dapat berperan sebagai fasilitator yaitu membantu sekolah mempersiapkan MoU dengan pihak-pihak eksternal.
Ada kalanya dalam melakukan MoU, pihak sekolah masih merasa ragu, takut salah, dan membutuhkan penguatan dari Kepala Sekolah. Sebaliknya, Kepala Sekolah juga terkadang merasa khawatir terhadap inovasi yang lahir dari sekolah. Jika menghadapi kondisi demikian, disarankan untuk kembali pada langkah awal yaitu pemberdayaan diri sendiri terlebih dahulu. Karena barangali kita semua masih tidak memahami kewenangan masing-masing dan tidak mengetahui sejauh mana kewenangan kita dapat diperluas.
B. Kerjasama untuk Peningkatan Mutu Pendidikan
Tujuan akhir dari kinerja Kepala Sekolah hakikatnya adalah untuk menjamin mutu pendidikan pada sekolah-sekolah yang dibinanya. Dengan kemampuan untuk menumbuhkan kerjasama, maka tugas tersebut akan dapat diwujudkan.
Pada materi yang lain mungkin telah dibahas tentang kegiatan penjaminan mutu. Pada kesempatan sekarang, akan diulas kembali secara singkat mudah-mudahan dapat menambah wawasan teoritis. Perbedaannya, pembahasan akan diarahkan pada peningkatan peran Kepala Sekolah dalam membangun kerjasama dengan berbagai pihak yang terkait dengan penjaminan mutu pendidikan.
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah banyak di bahas. Di tengah dunia internasional, kemampuan siswa dalam bidang studi matematika menurut TIMSS-Examination Centre, Office of Research and Development, Ministry of National Education (2000) menduduki urutan ke 34 dengan skor 40,3 di bawah Malaysia (urutan ke 16), Thailand (urutan ke 27), dan Turki (urutan ke 31). Begitu pula pada mata pelajaran IPA, siswa Indonesia hanya menduduki urutan ke 32 (Ditjen PMPTK, 2006). Dari hasil studi yang dilakukan oleh IAEA (International Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur juga menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor membaca untuk SD adalah sebagai berikut: (1) Hongkong 75,5, (2) Singapura 74,0, (3) Thailand 65,1, (4) Filipina 52,6, dan (5) Indonesia 51,7. Hasil penelitian lain menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia hanya mampu menguasai 30% materi bacaan. Mereka menemui kesulitan dalam membaca soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Untuk tingkat SLTP, ternyata prestasi belajar mereka juga menunjukkan hasil yang tidak menggembirakan. The Third International Mathematics and Science Study (IAEA, 1999) melaporkan bahwa diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke–32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Di samping itu, setiap tahunnya sekitar tiga juta anak putus sekolah, dan mereka tidak memiliki keterampilan hidup (Balitbang Diknas, 1999).
Kondisi ini sangat menantang dan seharusnya menjadi panggilan jiwa dari para guru, kepala sekolah, dan Kepala Sekolah untuk bersama-sama memikirkan pemecahannya. Dalam hal ini,  Kepala Sekolah ikut memiliki tanggung jawab untuk meningkatkan dan menjamin mutu.
Dalam konsep penjaminan mutu, seringkali dipertanyakan yaitu siapakah yang seharusnya memutuskan suatu produk dan pelayanan tertentu dikatakan bermutu: apakah produsen atau konsumen? Hal ini perlu dipertanyakan sebab antara pandangan produsen dan konsumen tidak selalu sama. Menurut produsen bisa saja dikatakan bahwa produknya bermutu, sempurna, dan bermanfaat tetapi terkadang terjadi penolakan oleh konsumen terhadap produk dan layanan tersebut. Produk yang memenuhi spesifikasi terkadang tidak menjamin meningkatnya jumlah penjualan. Untuk mengatasi perbedaan ini, maka muncullah apa yang kita kenal dengan Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality Management – TQM).
Organisasi-organisasi yang menganut konsep TQM melihat mutu sebagai sesuatu yang didefinisikan oleh pelanggan-pelanggan mereka. Pelanggan adalah penilai terhadap mutu dan institusi sebagai produsen tidak akan mampu bertahan tanpa mereka. Institusi pelaku TQM akan menggu- nakan semua cara untuk mengeksplorasi kebutuhan pelanggannya. Edwin L. Artzt, CEO Proctor Gamble Company, mengatakan bahwa pe1anggan-pelanggan kami adalah mereka yang menjual dan juga menggunakan produk kami. Dengan demikian, tujuan mutu terpadu adalah memahami kebutuhan pelanggan yang selalu berkemhang, serta menggunakan pengetahuan tersebut untuk diterjemahkan ke dalam produk-produk yang inovatif. Dengan konsep di atas, lahirlah konsep mutu yaitu kemudian didefinisikan sebagai sesuatu yang memuaskan dan melampaui keinginan dan kebutuhan pelanggan. Definisi ini disebut juga dengan istilah, mutu sesuai persepsi (quality in perception).
Ada tiga konsep dasar yang perlu dipahami dalam peningkatan mutu yaitu antara lain kontrol mutu (quality control), jaminan mutu (quality assurance) dan mutu terpadu (total quality). Kontrol mutu secara historis merupakan konsep mutu yang paling tua. Ia melibatkan deteksi dan eliminasi terhadap produk-produk gagal yang tidak sesuai dengan standar. Tujuannya adalah penilaian proses pasca-produksi yang melacak dan menolak item-item yang cacat. Kontrol mutu biasanya dilakukan oleh pekerja-pekerja yang dikenal sebagai pemeriksa mutu. Dalam dunia pendidikan, kontrol mutu diimplementasikan dengan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) karena hasilnya dapat dijadikan sebagai bahan untuk kontrol mutu.
Berbeda dengan kontrol mutu, ada lagi istilah tentang jaminan mutu. Jaminan mutu merupakan kegiatan yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kesalahan sejak awal proses produksi. Jarninan rnutu dirancang sedemikian rupa untuk menjamin bahwa proses produksi menghasilkan produk yang memenuhi spesifikasi yang telah ditetapkan sebelumnya. Jaminan mutu adalah sebuah cara memproduksi produk yang bebas dari cacat dan kesalahan.
Lebih luas dari jaminan mutu adalah TQM yang berusaha mencipta-kan sebuah kultur mutu, yang mendorong semua anggota stafnya untuk memuaskan para pelanggan. Dalam konsep TQM pelanggan adalah raja. ini merupakan pendekatan yang dipopulerkan oleh Peters dan Waterman dalam In Search of Excellence, dan telah menjadi tema khas dalam tulisan-tulisan Tom Peters (Sallis, 2006; 59). Sifat TQM adalah perbaikan yang terus menerus untuk memenuhi harapan pelanggan. Dengan memuaskan pelang-gan, bisa dipastikan bahwa mereka akan kembali lagi dan memberitahu teman-temannya tentang produk atau layanan tersebut. Inilah yang disebut dengan mutu yang menjual (sell-on quality).
Bagaimana dengan TQM pada dunia pendidikan?. Dunia pendidikan tidak memandang siswa sebagai produk mutu, karena anggapan ini akan membawa kita pada logika bahwa jika ingin menghasilkan produk yang baik maka harus memasukkan “bahan mentah” yang baik pula. Jika logika ini diterapkan dengan ketat maka model pendidikan apakah yang akan kita ciptakan?. Di Indonesia, konsep ini tidak berlaku karena setiap warga negara berhak memperoleh pengajaran.

INSTRUMEN PENILAIAN HASIL BELAJAR


A.    instrumen Penilaian Hasil belajar 
Tes tertulis
1.      Diberikan gambar selang berikut ini:    
     Tentukan nilai mutlak nya?
2.      Seorang anak bermain lompat-lompatan di lapangan. Dari posisi diam, si anak melompat ke depan 2 langkah, kemudian 3 langkah ke belakang, dilanjutkan 2 langkah ke depan, kemudian 1 langkah ke belakang, dan akhirnya 1 langkah ke belakang.
Permasalahan:

a.       Dapatkah kamu membuat sketsa lompatan anak tersebut?
b.      Tentukanlah berapa langkah posisi akhir anak tersebut dari posisi semula!
c.       Tentukanlah berapa langkah yang dijalani anak tersebut!

WORKSHEET 1 (Lembar Kreatifitas Siswa)
(untuk tugas kelompok)
3.      Permasalahan:
Gambarkan grafik !
Langkah-langkah penyelesaian:
Langkah1:
1. Lengkapilah tabel di atas!

X
-3
-2
-1
0
1
2
3
4

y=f(x)
5
2
2

(x,y)
(-3,5)
(0,2)
(4,2)


Langkah 2:
Letakkanlah titik-titik yang kamu peroleh pada tabel pada koordinat kartesius
                                                           

                                                                        y





                                                                                                                                                                                                                                               
                                                                        0
                                                                                                                                    x                                                                     





Langkah 3:
Pada langkah 2, kemudian hubungkanlah titik-titik yang sudah kamu letakkan di koordinat tersebut sesuai dengan urutan nilai x.


WORKSHEET 2
(untuk tugas kelompok)
Perhatikan grafik di bawah ini!

Dari pasangan titik-titik yang diberikan, tentukanlah persamaan linear yang memenuhi pasangan titik-titik
tersebut.
Catatan:
Penyekoran bersifat holistik dan komprehensif, tidak saja memberi skor untuk jawaban akhir, tetapi juga proses pemecahan yang terutama meliputi pemahaman, komunikasi matematis (ketepatan penggunaan simbol dan istilah), penalaran (logis), serta ketepatan strategi memecahkan masalah.














LEMBAR PENGAMATAN PENILAIAN SIKAP

Mata Pelajaran             : Matematika
Kelas/Semester            : X/1
Tahun Pelajaran           : 2013/2014
Waktu Pengamatan      : 2 x 45 Menit
Indikator sikap aktif dalam pembelajaran trigonometri
1.      Kurang baik jika menunjukkan sama sekali tidak ambil bagian dalam pembelajaran
2.      Baik jika menunjukkan sudah ada  usaha ambil bagian dalam pembelajaran  tetapi belum ajeg/konsisten
3.      Sangat baik jika menunjukkan sudah ambil bagian  dalam menyelesaikan tugas kelompok  secara terus menerus dan ajeg/konsisten

Indikator sikap bekerjasama dalam kegiatan kelompok.
1.      Kurang baik jika sama sekali tidak berusaha untuk bekerjasama dalam kegiatan kelompok.
2.      Baik jika menunjukkan sudah ada  usaha untuk bekerjasama dalam kegiatan kelompok tetapi masih belum ajeg/konsisten.
3.      Sangat baik jika menunjukkan adanya  usaha bekerjasama dalam kegiatan kelompok secara terus menerus dan ajeg/konsisten.

Indikator sikap toleran terhadap proses pemecahan masalah yang berbeda dan kreatif.
1.      Kurang baik jika sama sekali tidak bersikap toleran terhadap proses pemecahan masalah yang berbeda dan kreatif.
2.      Baik jika menunjukkan sudah ada usaha untuk bersikap toleran terhadap proses pemecahan masalah yang berbeda dan kreatif tetapi masuih belum ajeg/konsisten.
3.      Sangat baik jika menunjukkansudah ada usaha untuk bersikap toleran terhadap proses pemecahan masalah yang berbeda dan kreatif secara terus menerus dan ajeg/konsisten.
Bubuhkan tanda √pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan.
No
Nama Siswa
Sikap
Aktif
Bekerjasama
Toleran


KB
B
SB
KB
B
SB
KB
B
SB
1










2










3










4










5










6










7










8










9










10










11










12










13










Keterangan:
KB      : Kurang baik
B         : Baik
SB       : Sangat baik

LEMBAR PENGAMATAN PENILAIAN KETERAMPILAN
Mata Pelajaran             : Matematika
Kelas/Semester            : X/1
Tahun Pelajaran           : 2013/2014
Waktu Pengamatan      : 2 x 45 Menit
Indikator terampil menerapkan konsep/prinsip dan strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan nilai fungsi di berbagai kuadran.
1.      Kurangterampiljika sama sekali tidak dapat menerapkan konsep/prinsip dan strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan nilai fungsi di berbagai kuadran
2.      Terampiljika menunjukkan sudah ada  usaha untuk menerapkan konsep/prinsip dan strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan nilai fungsi di berbagai kuadrantetapi belum tepat.
3.      Sangat terampill,jika menunjukkan adanya  usaha untuk menerapkan konsep/prinsip dan strategi pemecahan masalah yang relevan yang berkaitan dengan nilai fungsi di berbagai kuadran dan sudah tepat.

Bubuhkan tanda √pada kolom-kolom sesuai hasil pengamatan.
No
Nama Siswa
Keterampilan
Menerapkan konsep/prinsip dan strategi pemecahan masalah
KT
T
ST
1




2




3




4




5




6




7




8




9




10




11




12




13




14




15




16




17




18




19




20




21




22




23




24




25




Keterangan:
KT       : Kurang terampil
T          : Terampil
ST        : Sangat terampil
LEMBAR PENILAIAN KREATIVITAS SISWA

     Nama : ...................................
No Soal
Skor Aspek yang Dinilai
Jumlah Skor
Fluency (Kelancaran)
Fleksibilitas (Keluwesan)
Elaborasi (Kejelasan)
Originality (Keaslian)
1





2





Jumlah Total


        Nilai  Akhir (NA) =  
Keterangan :
      Skor Maksimum = Skor maksimum tiap aspek  Banyaknya soal
     Pedoman Penskoran Tes Kreativitas Siswa
Aspek yang Dinilai
Skor
Indikator
Fluency (Kelancaran)
4
Seluruh jawaban benar dan beberapa pendekatan/cara digunakan
3
Paling tidak dua jawaban benar diberikan dan dua cara digunakan
2
Paling tidak satu jawaban benar diberikan dan satu cara digunakan
1
Jawaban tidak lengkap atau cara yang dipakai tidak berhasil
Fleksibilitas (Keluwesan)
4
Memberikan jawaban yang beragam dan benar
3
Memberikan jawaban yang beragam tetapi salah
2
Memberikan jawaban yang tidak beragam tetapi benar
1
Memberikan jawaban yang tidak beragam tetapi salah
0
Tidak memberikan jawaban
Elaborasi (Kejelasan)
4
Memberikan jawaban yang rinci dan hasil benar
3
Memberikan jawaban yang rinci tetapi hasil salah
2
Memberikan jawaban yang tidak rinci tetapi hasil benar
1
Memberikan jawaban yang tidak rinci tetapi hasil salah
0
Sedikit atau tidak ada penyelesaian
Originality (Keaslian)
4
Cara yang dipakai berbeda dan menarik. Cara yang hanya dipakai oleh satu atau dua siswa
3
Cara yang dipakai tidak biasa dan berhasil. Cara digunakan oleh sedikit siswa
2
Cara yang dipakai merupakan solusi soal tetapi masih umum
1
Cara yang digunakan bukan merupakan solusi persoalan


























KUNCI JAWABAN TES TERTULIS
No
Soal
Uraian Jawaban
Skor
min
Skor
maks
1.
Diberikan gambar selang berikut ini:
 
      





Tentukan nilai mutlak nya?


Untuk nilai mutlaknya adalah:
 3
 2

5

15
2.
Seorang anak bermain lompat-lompatan di lapangan. Dari posisi diam, si anak melompat ke depan 2 langkah, kemudian 3 langkah ke belakang, dilanjutkan 2 langkah ke depan, kemudian 1 langkah ke belakang, dan akhirnya 1 langkah ke belakang.
Permasalahan:
      a. Dapatkah kamu membuat    sketsa lompatan anak tersebut?
b. Tentukanlah berapa langkah posisi akhir anak tersebut dari posisi semula!
c. Tentukanlah berapa langkah yang dijalani anak tersebut!


|2| + |-3| + |2| + |-1| + |-1| = 9

c. 9 langkah



a.
 

10

40
3.
Gambarkan grafik f(x) = − 2 yang menyatakan besar simpangan pada titik x = 2!



X
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
F(x)
5
4
3
2
1
0
1
2
(x,y)
-3,5
-2,4
-1,3
0,2
1,1
2,0
3,1
4,2
 





15

45

Total skor

30
100